Oleh:
Ilham Febrianto
(Mahasiswa Unair)
Surabaya, dikenal sebagai kota pahlawan. Memiliki main symbol Tugu Pahlawan yang dibangun untuk memperingati perjuangan para pahlawan.
Menurut sejarah, lahirnya kota ini ditandai dengan peristiwa heroic yakni pengusiran tentara Tar-Tar oleh Raden Wijaya dan pasukannya di Hujung Galuh(sekarang Tanjung Perak) pada pada 31 Mei 1293.
Di kota ini juga, dahulu ketika sekutu mengultimatum warga kota agar meletakkan senjata dan menyerahkan diri sebagai akibat dari terbunuhnya Jenderal mereka, AWS Mallaby, saat pertempuran 30 Oktober 1945 yang tak digubris warga kota Surabaya. Mereka, tetap pada pendiriannya. Merdeka atoe Mati. Karena itu, Sekutu dengan berbagai macam Alutsistanya menggempur, membombardir hingga sudut sudut kota. Secara nalar memang tak mungkin Arek arek Suroboyo memenangkan pertarungan dengan sekutu, dan hasilnya memang tidak.
Namun yang harus diingat, arek arek Suroboyo kala itu dengan gigih, pantang menyerah, kerja keras, militan, berbekal peralatan seadanya, dan dengan segala ketidakmampuan, memilih tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.
Dan itulah kultur asli warga kota Surabaya sesungguhnya, kultur “Arek”. Kultur yang perlahan mulai terkikis seiring pergeseran karakteristik kota Surabaya sendiri.
Kini Surabaya lebih dikenal sebagai kota bisnis, ya meski sejak dahulu sebenarnya Surabaya telah jadi pusat perdagangan mengingat letak kota yang strategis sebagai pintu perdagangan khususnya untuk Indonesia bagian timur.
Berdasarkan survei Indonesia Best Cities for Business 2016 oleh majalah ekonomi SWA, kota Surabaya menempati peringkat 1 sebagai kota terbaik untuk berbisnis. Kota dengan pertumbuhan ekonomi diatas rata rata nasional yakni 6,73 % di tahun 2014 wajar jika banyak sekali terlihat gedung gedung tinggi, baik perkantoran, hunian (hotel/apartement), ataupun mall. Surabaya kini, memang telah jadi salah satu kota metropolitan yang terus menerus berinovasi menjadi The Real Modern City.
Ini secara tidak langsung juga mempengaruhi watak dari penduduk kotanya, yang kini mengarah ke arah individualistik. Seolah seolah ada tembok pembatas yang mengharuskan setiap orang berada diruangannya masing masing, tak perlu memperhatikan atau sekedar menengok apa yang terjadi dibalik dinding temboknya. Ya, meski tak semua, bahkan mungkin minoritas, atau malah sebenarnya hanya kecemasan penulis saja.
Yang pasti, di Surabaya masih ada penerus/penjaga kultur “Arek”. Mereka yang dahulu berjuang bersama berbekal kebenaran yang mereka yakini bersama ditengah ketidakpastian seperti apa ujung perjuangannya, demi satu kebanggaan yang sama, Persebaya.
Ya, mereka adalah Bonek. Bonek yang lewat beragam metode perjuangannya, lewat berbagai pengorbanan mulai waktu, tenaga, uang, bahkan nyawa berhasil mengembalikan kebanggaan mereka.
Di lain sisi, Bonek sekaligus menjadi penjaga agar Surabaya ditengah kemajuannya tak jadi Kota tanpa kata. Bonek yang masih mau saling sapa satu sama lain meski tak saling kenal, masih mau berbagi minuman/makanan, mudah disaksikan jika ada sekumpulan Bonek makan 1 bungkus beramai ramai, mereka yang saling menjaga satu sama lain, saling membantu, susah senang bersama, ini tergambar saat ada salah 1 bonek yang terkena musibah dengan spontan Bonek lain akan langsung galang dana untuk membantu, saling menghormati satu sama lain tak memandang usia, bahkan terkadang yang usianya lebih tua masih menggunakan bahasa jawa halus (bahasa kromo) saat berkomunikasi dengan yang lebih muda.
Seharusnya kini Bonek sudah dapat bersama sama merayakan sepakbola kembali, mengingat Persebaya kini telah kembali berkompetisi resmi. Namun faktanya, Persebaya, yang telah menjadi sebuah klub modern, telah benar benar merepresentasikan kota Surabaya yang juga kota modern, tentu masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki.
Jawapos, salah satu media nasional, telah membeli 70% saham kepemilikan PT Persebaya Indonesia lewat PT Jawapos Sportainment. Melalui Jawapos yang terbukti sukses didunia basket lewat PT DBL, optimisme itu dibangun kembali lewat beragam inovasi. Mulai dari pengelolaan tiket yang kini bisa dibeli secara online melalui myticket dan kedepan juga akan bisa dibeli lewat salah satu minimarket. Selain itu kini juga disediakan penjualan tiket terusan (yang dapat digunakan di seluruh laga Home Persebaya). Jersey tim dengan banyak teknologi yang digunakan seperti motif kulit buaya yang tercetak timbul sejak dalam pembuatan kain. Store resmi milik Persebaya juga telah berdiri di Gedung milik Jawapos, GrahaPena. Banyak sponsor berhasil ditarik manajemen Persebaya seperti Kopi Kapal Api, Antangin, Honda MPM, Honda Surabaya Center, Ardiles, Proteam, dan Gojek. Pemain yang bertempat tinggal di Apartment. Akun sosial media resmi yang dalam sehari saja mampu menarik banyak followers, ini melihatkan pecinta sepakbola, khususnya Bonek sangat menantikan kabar terkini tentang tim kebanggaannya.
Dan, layaknya Surabaya, modernitas Persebaya juga ada dampaknya. Mulai yang paling disoroti saat ini, dimana pemain Persebaya dirasa tak mewakili ruh, mentalitas, kultur “Arek’. Mereka dianggap tak mewakili gaya permainan ngotot, ngeyel, khas Surabaya. Hal itu linier memang, karna jika dilihat berdasarkan kelahiran pemain yang menghuni squad Persebaya saat ini, hanya 7 orang kelahiran Surabaya dan sekitarnya (Data di Jawapos,19 Maret 2017). Tanpa berniat mengecilkan pemain non kelahiran Surabaya, mengingat sejatinya karakteristik permainan bisa dibentuk. Namun, pelatih kepala Persebaya sendiri saat ini, belum mampu untuk menjawab tantangan itu. Kritik pun tak dapat dihindarkan kepada Iwan Setiawan, alih alih menjawab kritikan bonek dengan kemajuan perform tim dilapangan bola, Iwan malah menjawab dengan menantang duel bonek, dan acungan jari tengah setelah match melawan Martapura. Sungguh ironi.
Lepas dari kondisi tim, modernitas juga berdampak langsung pada supporter. Pada kasus Persebaya, dengan kenaikan harga tiket, yang sebelumnya 50rb dan akhirnya terkoreksi jadi 35rb saja, masih dianggap terlalu mahal. Selain itu, jadwal pertandingan yang lebih banyak di hari aktif, guna kepentingan hak siar juga merupakan efek yang harus diterima oleh Bonek.
Buat Bonek, menonton Persebaya di stadion adalah satu hal yang tak bisa dipisahkan. Atas nama cinta, segala cara akan digunakan agar mampu membeli tiket, jika masih saja tak berhasil, biarlah layar kaca yang membalas cinta Bonek. Karna memang, kini lebih dari 50% pertandingan Persebaya disiarkan oleh TV.
Ibarat seorang anak yang mengidamkan sepatu yang karna keterbatasan dana si anak hanya bisa melihat sepatu yang diinginkannya lewat kaca etalase toko sembari membayangkan memakainya, yang tentu berbeda rasanya jika si anak memakainya langsung. Sama halnya Bonek, kaca televisi, tak akan pernah menyajikan pengalaman yang sama dengan mendukung Persebaya langsung di stadion.
Tulisan ini tak sama sekali anti modernitas ataupun anti kemajuan. Hanya menekankan perlunya adanya keseimbangan, kemajuan pada beberapa aspek tak boleh menafikkan, tak boleh mengindahkan aspek aspek lain. Karna yang terpenting bukan symbol yang terlihat tapi substansi.
Dan yang terpenting dari sebuah kota adalah manusia yang menempatinya, sementara sarana dan prasarana yang ada hanyalah penunjang. Begitu juga dalam sepakbola, yang terpenting adalah permainan sepakbolanya, permainan di lapangan hijau, 11 pemain lawan 11 pemain, yang lainnya faktor pendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar