Sabtu, 27 Mei 2017

TENTANG NAHKODA BARU GREEN FORCE

oleh :
Bonek Campus

Terjawab sudah sang nahkoda anyar dari Green Force paska pemecatan Iwan Setiawan yang dianggap gagal oleh manajemen, Persebaya langsung memburu pelatih kepala baru untuk mengarungi Liga 2 selanjutnya. Yaitu Alfredo Vera, pelatih berkebangsaan Argentina. Mantan pelatih dari kesebelasan di Liga 1, Persipura Jayapura. Sebelum melatih Persipura, Alfredo Vera juga sempat menjadi asisten pelatih dari Subangkit di Persela Lamongan serta pernah juga menjadi pelatih Persegres Gresik United. Memang pelatih asal Tango ini sukses mengantarkan Persipura menjuarai Indonesia Soccer Championsip (ISC) A pada tahun 2016-2017 atau sebelum disenggelarakannya Liga 1 oleh PSSI, namun pertanyaannya kenapa ia dipecat oleh Persipura? Ada sedikit mengenai Alfredo, bukan tentang kinerjanya melainkan tentang lisensi kepelatihan yang ia miliki. Belum ada sumber terpercaya mengenai ini, namun lisensi A UEFA disebut menjadi polemik hingga Persipura memutus kontrak pelatih asal Argentina tersebut dalam mengarungi kompitisi Liga 1.


Alfredo Vera (kedua dari kiri) saat bersama Presiden Klub, Azrul Ananda

Sabtu sore, 27 Mei 2017, manajemen Persebaya mengumumkan pelatih barunya. Tepat di Mess Persebaya tadi, Alfredo Vera langsung dikenalkan kepada publik. Tidak hanya itu, manajemen Persebaya juga memperkenalkan asisten pelatih baru Persebaya yaitu Esteban Horacio Busto. Bersama Alfredo, Busto memang “sepaket” waktu mereka dulu bersama-sama mengantarkan Persipura juara ISC A. Namun ada yang datang, tentu ada pula yang pergi. Setelah kedatangan asisten pelatih Persebaya yang baru,bagaimana nasib dari asisten pelatih Persebaya yang lama yaitu Ahmad Rosidin? Belum dapat dikonfirmasi apakah Ahmad Rosidin akan dipertahankan ataupun juga didepak akibat kedatangan asisten pelatih baru tapi menurut sumber yang terpercaya Ahmad Rosidin seakan memberikan sinyalnya untuk pergi dati tim Bajol Ijo.
Sebagaimana yang terlihat di sepakbola Eropa sana, biasanya pelatih baru memiliki tim sendiri. Untuk nasib tim pelatih yang lama, kami berharap manajemen memberikan keterangan untuk itu. Bukan hanya tentang nasib tim pelatih yang lama, manajemen juga harus menjelaskan tentang lisensi kepelatihan Alfredo Vera. Seperti yang diketahui, Alvredo Vera didepak dari Persipura karena permasalahan lisensi pelatih.
Lalu bagaimana dengan komposisi pemain? beda pelatih tentu saja beda taktik permainan. Entah strategi apa yang akan digunakan oleh Alfredo Vera, harapannya tentu saja komposisi pemain saat ini bisa menunjang strategi permainan yang terbaik oleh pelatih baru. Sehingga Persebaya bisa menjadi tim yang solid dan tidak melupakan karakter khasnya.
Hubungan pelatih asing dengan Persebaya nampaknya bisa dikatakan sukses saat era Jackson F. Tiago pada tahun 2004. Saat itu Persebaya keluar menjadi kampiun Liga Indonesia dibawah pelatih asal Brasil tersebut. Selepas itu, pernah juga Persebaya diarsiteki oleh pelatih asing, Fabio Oliviera. Pelatih asing asal Brasil itu resmi menukangi Bajol Ijo di tahun 2013 menggantikan Ibnu Graham yang mengundurkan diri di jeda kompitisi IPL tahun 2013. Hanya saja kompetisi tersebut berhenti sebelum akhir musim,dengan  kata lain Fabio harus mengakhiri karirnya lebih awal dengan kata lain Fabio belum bisa membawa Green Force menjuarai kompetisi tersebut.
Sekarang beban berat ada dipundak Alfredo Vera, mampukah Persebaya di bawah asuhan Alfredo Vera dengan komposisi pemain muda yang sekarang dapat menunjukkan bukti kepada publik surabaya untuk menjuarai Liga 2 Indonesia? Kita tunggu saja tangan dingin Alfredo Vera dalam membesut tim asal Surabaya yaitu Persebaya.
           
Sedikit biodata tentang nahkoda baru dari Persebaya:

            Nama               :  Angel Alfredo Vera
Tanggal lahir   :  18 Agustus 1974
Kebangsaan     :  Argentina

Karir sebagai Pemain
2008/2009       :  PSS Sleman
2007/2008       :  PSAP Sigli
2006/2007       :  Persekap Kota Pasuruan                                              
2005/2006       :  Persekap Kota Pasuruan                                              
2004/2005       :  Persekap Kota Pasuruan                                              
2002/2003       :  Delfin SC (Ecuador)                                                   
2001/2002       :  Macara Ambato (Ecuador)                                          
2000/2001       :  LDU Quito (Ecuador)
2000/2001       :  Aucas Quito (Ecuador)
1999/2000       :  Aucas Quito (Ecuador)
1999/2000       :  Olmedo (Ecuador)
1998/1999       :  Olmedo (Ecuador)                                                      
1998/1999       :  Minervén (Venezuela)                                                 
1997/1998       :  Minervén (Venezuela)                                                 
1996/1997       :  Leandro N. Alem (Argentina)                                                 
1995/1996       :  Leandro N. Alem (Argentina)                                                                      

Karir Sebagai Pelatih
2017    :  Persebaya
2016    :  Persipura Jayapura
2014    :  Persegres Gresik United
2014    :  Persela Lamongan (asisten pelatih)
2013    :  Persela Lamongan (asisten pelatih)

Senin, 22 Mei 2017

MENANTI SANG NAHKODA BARU PERSEBAYA


Oleh:
Reza Kriztiawan
(Bonek Campus ITATS)

Rentetetan hasil yang kurang maksimal di dua laga awal Liga 2 yaitu bermain imbang 1-1 melawan Madiun Putra di kandang dan kalah melawan Martapura FC di Banjarmasin, ditambah kontroversi “acungan jari” dan peristiwa “pisau dapur” yang dilakukan Iwan Setiawan setelah laga melawan Martapura FC membuat manajemen Persebaya terlebih Bonek menjadi geram.
Memang manajemen setelah laga itu memberi sangsi kepada Iwan yaitu skorsing 1 laga tidak boleh mendampingi tim serta denda yang berjumlah 100 juta. Namun Bonek belum puas, mereka menuntut agar dilengserkannya Iwan yang terbukti tak mempunyai attitude tidak baik pada saat di Banjarmasin.
Dengan begitu, skuad Green Force untuk sementara diambil alih oleh sang asisten pelatih yaitu Achmad Rosidin hingga sangsi Iwan Setiawan telah usai.
Liga 2 terus bergulir, pertandingan Persebaya melawan Persepam Madura Utama tanggal 11 Mei 2017 di Gelora Bung Tomo Surabaya sudah berjalan. Tanpa adanya sang pelatih kepala Iwan Setiawan, Persebaya seakan bermain lepas dan sukses melumat Persepam Madura Utama dengan skor 3-1.
Hasil positif ini, seharusnya Iwan Setiawan sudah kembali mendampingi tim pada saat akan bertolak menuju Jogjakarta pada tanggal 18 Mei 2017 guna akan melawan tuan Rumah PSIM, namun agar kondisi positif tetap terjaga, manajemen memutuskan pelatih kepala masih diambil alih oleh Achmad Rosidin untuk sementara waktu.Hasilnya? Persebaya sukses menahan imbang tuan rumah PSIM dengan skor 1-1.

Spanduk Tuntutan Bonek Saat Persebaya Berlaga di GBT

Desakan dari supporter Persebaya agar dilengserkannya Iwan Setiawan kian bertubi-tubi, terlepas dari aksi kontroversi Iwan Setiawan, terbukti dengan tanpa adanya Iwan seakan para punggawa Green Force bermain lepas dan tanpa beban. Manajemen pun memberikan respon atas desakan dari suporternya dan langsung mengambil sikap.
Secara resmi akhirnya manajemen Bajol Ijo mengeluarkan pernyataan terkait masa depan dari pelatih kepala Persebaya, Iwan Setiawan. Senin pagi, tanggal 22 Mei 2017 lewat direktur tim Persebaya, Candra Wahyudi, manajemen mengumumkan atas pemberhentian dari Iwan Setiawan sebagai pelatih kepala. Pemberhentian pelatih tersebut memang sudah banyak diinginkan oleh banyak pihak termasuk suporter Persebaya sendiri yaitu Bonek.
Dengan begitu, posisi pelatih kepala dari Green Force untuk sekarang akan kosong. Tidak mungkin asisten pelatih Persebaya akan menjadi pelatih kepala tim karena Achmad sendiri masih memiliki lisensi pelatih B Nasional. Mengapa tidak bisa? Karena akan berbenturan dengan regulasi Liga 2 yaitu semua pelatih kepala tim harus memiliki minimal lisensi C AFC atau setara. Dengan kata lain manajemen harus mencari siapa yang cocok menggantikan Iwan Setiawan di pelatih kepala.
Banyak pihak terutama Bonek yang menanti kehadiran pelatih anyar dari klub tercintanya tersebut. Memang bukan perkara mudah menjadi pelatih tim sekelas Persebaya.
Selain memiliki target Juara Liga 2 ataupun minimal lolos ke Liga 1 di musim depan,jangan lupa Persebaya juga mempunyai suporter yang dikenal militan dan kritis jika tim pujannya tidak sesuai dengan harapan. Dengan kata lain, disamping memiliki taktik yang cerdas, attitude yang baik, pelatih Persebaya kelak juga harus memberikan karakter arek Suroboyo kepada tim yang diasuhnya.
Karakter yang gagah, ngeyel, wani, dan memiliki semangat berjuang hingga akhir pertandingan adalah karakter dari arek Suroboyo itu sendiri. Seperti halnya Bonek, suporter Persebaya sendiri yang memiliki karakter tersebut.
Terhitung dari jaman penjajahan Belanda dulu, arek-arek Suroboyo yang pantang menyerah berhasil mengusir Belanda dari Indonesia sampai Persebaya dizolimi PSSI hingga sekarang Persebaya kembali ke habitatnya, karakter arek masih ada dialam diri Bonek. Maka karakter itulah yang kelak harus bisa dimiliki kepada tim Persebaya sendiri.
Pelatih baru Persebaya harus paham juga, apapun yang terjadi kepada Persebaya maka Bonek yang akan menjadi garda paling depan mengawal Persebaya. Apapun itu yang terjadi, berjaya ataupun terpuruk makan Bonek yang akan tetap setia bersama Persebaya.

Suporter Persebaya Total Dalam Memberikan Dukungan Kepada Timnya

Menarik memang menunggu “Nahkoda Baru” dari Green Force yang rencana menurut manajemen akan diumumkan di 2 hari kedepan. Semoga pilihan pelatih dari manajemen kelak akan membuat Bajol Ijo kembali berjaya dan mampu memberikan kado Juara Liga 2 kepada Persebaya yang tahun ini akan memasuki usia ke 90 tahun. Persebaya Selamanya!


SALAM SATU NYALI WANI !!!

Sabtu, 20 Mei 2017

JAWABAN BONEK ATAS PENOLAKAN WARGA BANTUL

Oleh:
Riansyah Dalimunthe
(Bonek Campus UBAYA)

Bonek supporter dari klub sepak bola Persebaya, salah satu supporter pertama kali di Indonesia yang terkoordiir dan bisa dibilang supporter yang disegani oleh kelompok-kelompok supporter lain yang berada di Indonesia.

Kumpulan orang-orang maniak bola yang dimana mana selalu dipandang negatif dan membawa dampak yang buruk setiap kali Persebaya berlaga diluar/didalam kota Surabaya sendiri.

Pencekalan bukan hal yang baru bagi supporter ini, dan pihak-pihak keamanan setempat sangat kualahan jika Persebaya menjadi tamu di kota orang lain, bagaimana pun pencekalan yang di himbaukan sepertinya tidak menghalangi niatan mereka.

Contoh pencekalan yang baru-baru ini terjadi oleh masyarakat bantul yang tidak menghendaki hadirnya Bonek ke Stadion Sultan Agung dimana stadion tersebut berlokasi di Kab. Bantul Yogyakarta kala akan menghadapi PSIM Yogyakarta sebagai tuan rumah melawan Persebaya Surabaya di kompetisi Liga 2.

Bentuk pencekalan ini seperti yang dilakukan warga bantul tepatnya yaitu warga dusun Brajan dan Wonokromo di kecamatan Beret menghasilkan sebuah petisi yang di tujukan kepada ketua pelaksana pertandingan PSIM, pengelola stadion sultan agung dan Polres Bantul bahwa warga atas nama dusun tersebut menolak kehadiran Bonek di Bantul.

Hal ini sangat beralasan karena citra Bonek didepan masyarakat Bantul sudah terlanjur buruk karena kejadian 5 tahun yang lalu kala Persija Jakarta IPL menjamu Persebaya Surabaya di Stadion Sultan Agung Bantul tanggal 12 Juni 2012 dalam Liga Prima Indonesia (LPI).

Setelah adanya pencekalan dari warga Bantul, Bonek tidak kehabisan cara demi bisa mengawal tim kebanggaannya berlaga melawan PSIM yogyakarta.

Mereka tetap membulatkan tekad nya untuk tetap berangkat ke Bantul dengan tidak menggunaan atribute yang biasa mereka gunakan saat Persebaya Surabaya bertanding. Mereka mengusung tagline #NoAtributeNoProblem , mengingat bagi Bonek, Persebaya telah menyatu dalam diri mereka bukan hanya simbol yang dikenakan. 

Dan, gayung pun bersambut, pihak-pihak supporter tuan rumah PSIM Yogyakarta yaitu Brajamusti dan The Maident yang dimana hubungan antara Bonek dan Brajamusti/The Maident sangat baik dan mengupayakan kehadiran Bonek dibantul agar tetap terlaksana.

Pihak-pihak ini tau akan tujuan Bonek bahwa mereka akan menunjukan ke masyarakat bantul jika Bonek yang sekarang sudah mulai berubah dibandingkan 5 tahun lalu.

Hal ini benar-benar dibuktikan saat pertandingan akan dimulai hingga berakhir, Bonek bisa menjaga kondutifitas Bantul dengan baik dibandingkan dulu.

Suasana dalam Stadion Sultan Agung Bantul

Semoga moment ini bisa dilihat oleh kota-kota lain yang masih merasa paranoid dengan kehadiran Bonek saat Persebaya Surabaya akan berlaga Away di luar kota Surabaya.

Bonek sudah mulai berubah dan akan terus belajar dari pengalaman-pengalaman yang kelam dimasa dulu. 

Para Bonek Sebelum Pertandingan Dimulai

Minggu, 07 Mei 2017

SEMOGA KECINTAAN AKAN BERBALAS DENGAN HAL YANG SAMA

oleh:
Reza Kriztiawan
(Bonek Campus ITATS)


              Klub dan suporter, memang suatu kesatuan yang sulit dipisahkan bahkan mungkin takkan mungkin untuk dipisahkan. Peran suporter terhadap klubnya memang untuk mendukung, memberi semangat, mengkritik jika klubnya tak sesuai rule nya, bahkan sampai nyawapun rela mereka taruhkan untuk klubnya. Apalah arti sebuah klub jika tak sejalan dengan suporternya, tentu akan menimbulkan berbagai banyak masalah.
            Persebaya adalah salah satu klub terbesar dan tersukses di sepak bola Indonesia. Memiliki juga suporter yang sangat militan dan salah satu basis suporter terbesar di Indonesia. Ya, mereka menyebutnya adalah Bonek. Bonek dengan gagahnya selalu mendukung apapun keadaan klub pujaannya, Persebaya. Suka maupun duka bahkan tangis bahagia ataupun tangis kekecewaan ,sudah mereka lakukan untuk Persebaya. Berjuang mengembalikan Persebaya kembali ke habitat asalnya,yang selama 6 tahun mengalami suatu masalah dengan federasi hingga puasa pertandingan pun Bonek masih setia bersama Persebaya. Betapa cintanya mereka terhadap klub pujaannya. Tak terkecuali salah satu Bonek yang bernama Fajar Kurniawan.
Sejak kecil, Fajar memang terkenal salah satu pendukung fanatik Persebaya. Ia pun rutin menyaksikan pertandingan Persebaya yang pada saat itu masih bermarkas di Stadion Gelora 10 November Tambak Sari. Hingga Persebaya pindah di Gelora Bung Tomo, Fajar pun masih sering menyaksikan Persebaya berlaga. Diluar sebagai Bonek atau pendukung Persebaya, Fajar memiliki bakat yang terus ia asah.
Lelaki berkelahiran asli Suroboyo 07 Mei 1994 ini ternyata menyalurkan bakatnya lewat salah satu tim SSB di kota Surabaya. Hingga di tahun 2009, Fajar bisa menembus tim Persebaya Junior yaitu Persebaya U-15 dan itu adalah awal sepak terjang Fajar di karirnya. 

(Fajar bersama tim Persebaya U-15 menjuarai piala Medco Jatim thn 2009)
Bakatnya pun terus ia asah hingga tim jauh di ujung Pulau Sulawesi meliriknya. Yaitu PPLP Sulsel Makassar adalah petualangan fajar selanjutnya. Ia resmi dikontrak pada saat itu satu musim di tahun 2010. Permainan ngotot dan ngeyel khas arek Suroboyo ini mendapatkan tambahan durasi kontrak selama 2 tahun berikutnya
Sampai pada saatnnya di pengghujung kontraknya, ia mendapat tawaran dari klub Asal Jawa Timur lainnya. Persem Mojokerto di tahun 2012 resmi mengontrak Fajar dengan durasi satu musim. Bakat ia terus asah, terus ia latih, tujuannya hanya satu yaitu dapat menembus skuad Green Force, klub yg ia puja dari kecil dn ia cintai. Namun sayang, mulai ditahun 2010 tersebut Persebaya mengalami “Mati Suri” sampai pada akhirnya tak ada pertandingan di Kota Surabaya. Fajar terus menunggu tim pujaannya bangkit, hingga kontrakanya telah usai di Persem Mojokerto di tahun 2013.
Waktu terus berlalu hingga Fajar kembali ke kota asalnya Surabaya untuk meneruskan pendidikannya. Kala itu Fajar sedikit mengurangi di dunia sepak bola untuk melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahan. Universitas Sunan Giri adalah pilihannya dan Fakultas Ilmu Tasfir adalah jurusan yang digelutinya. 


(Acara Mahakarya Bonek Campus)
Di masa itu Fajar juga bergabung dengan Bonek Campus. Wadah dari berbagai komunitas campus ini juga sering membuat suara acara di saat Persebaya sedang “mati suri”. Fajar pun juga aktif di saat tersebut dan ikut dalam berbagai kegiatan Bonek Campus salah satunya Mahakarya Bonek Campus.
Setelah sedikit menepi dari sepak bola karna disibukkan dengan masa awal perkuliahan, Fajar akhirnya kembali ke lapangan hijau. Tim tetangga berjuluk the Lobster ini sukses menggaet bek sayap kiri asal Surabaya. Deltras Sidoarjo resmi mengikat kontrak dengan Fajar selama satu musim berjalan. 
(Fajar Kurniawan bersama Deltras Sidoarjo)
Hingga pada akhirnya setelah setahun berlalu, Fajar mendapat panggilan dari tim asal Banjarmasin yaitu Barito Putera yang secara langsung pada saat itu di arsiteki langsung oleh Jacksen F Tiago. Namun sayang, keberuntungan belum memihak Fajar untuk berseragam Barito Putera.


Suasana trial bersama Barito Putera
Terdapat tim yang bermain di Liga 2 pada saat ini, yaitu bernama Persip Pekalongan. Tim tersebut ingin sekali memakai jasa Fajar yang berposisi sebagai bek kiri. Terjadi kesepakatan antara menejemen Persip Pekalongan dan Fajar pun mendapatkan kontrak 1 musim dengan nomor punggung 23. 


jongkok kedua dari kiri
Nomor yang identik dengan dirinya. Sampai saat ini pun Fajar masih berjuang bersama timnya di liga 2. Fans dari Kurniawan Dwi Julianto ini memang bermain di kasta yang sama dengan tim pujaaannya dari kecil yaitu Persebaya, namun beda grup.

(sumber: media Persip Pekalongan)

Sebelum kompitisi resmi bergulirpun, Fajar menyempatkan diri menyaksikan Persebaya bermain di laga tandang maupun kandang setelah dikembalikannya Bajol Ijo di habitatnya dan saat itu ia dari Pekalongan setelah mengikuti latihan bersama timnya langsung hadir dilaga PSIS vs Persebaya di Jatidiri. WOW! Loyalitas dan kecintaan Bonek menang tak bisa dibohongi. Laga terakhir yang dilakukan di Gelora Bung Tomo melawan PSIS juga tak ingin ia lewatkan begitu saja. Bermodal ijin dari pihak klubnya saat itu,ia langsung meluncur menuju Surabaya untuk menyaksikan Home Coming Game.
(saat menyaksikan PSIS vs Persebaya di stadion Jatidiri)

Harapan juga keinginannya pun tinggi untuk memakai kostum Green Force, tim yang sangat ia puja dari kecil hingga sekarang. Namun secara profesional,jelas Fajar akan berjuang habis-habisan membawa Persip Pekalongan meraih prestasi tertinggi di kancah Liga 2 sepak bola Indonesaia.

“Siap meneruskan posisi dari Abah Halil”, begitu ujarnya saat terakhir yang ia katakan kepada saya.

Semoga jika ada kesempatan memakai jersey berlambang Suro dan Boyo nanti,pasti tidak akan ia sia-siakan. Terus berlarilah #spesialiskidal23 hingga sampai saatnya kau akan datang bermain dihadapan Bonek dengan memakai jersey Persebaya dan berada di pososi Mat Halil dulu. Mungkin untuk menejemen Persebaya bisa mempertimbangkan atau memantau “Bonek” ini yang sedang bermain di Persip Pekalongan. Memilik ciri khas asli arek Suroboyo takkan membuat Fajar lama beradaptasi jika nantinya di kontrak oleh menejemen Green Force !

Rabu, 03 Mei 2017

PERSEBAYA DAN MODERNITAS KOTA

Oleh:
Ilham Febrianto
(Mahasiswa Unair)


Surabaya, dikenal sebagai kota pahlawan. Memiliki main symbol Tugu Pahlawan yang dibangun untuk memperingati perjuangan para pahlawan.
Menurut sejarah, lahirnya kota ini ditandai dengan peristiwa heroic yakni pengusiran tentara Tar-Tar oleh Raden Wijaya dan pasukannya di Hujung Galuh(sekarang Tanjung Perak) pada pada 31 Mei 1293.

Di kota ini juga, dahulu ketika sekutu mengultimatum warga kota agar meletakkan senjata dan menyerahkan diri sebagai akibat dari terbunuhnya Jenderal mereka, AWS Mallaby, saat pertempuran 30 Oktober 1945 yang tak digubris warga kota Surabaya. Mereka, tetap pada pendiriannya. Merdeka atoe Mati. Karena itu, Sekutu dengan berbagai macam Alutsistanya menggempur, membombardir hingga sudut sudut kota. Secara nalar memang tak mungkin Arek arek Suroboyo memenangkan pertarungan dengan sekutu, dan hasilnya memang tidak.

Namun yang harus diingat, arek arek Suroboyo kala itu dengan gigih, pantang menyerah, kerja keras, militan, berbekal peralatan seadanya, dan dengan segala ketidakmampuan, memilih tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.

Dan itulah kultur asli warga kota Surabaya sesungguhnya, kultur “Arek”. Kultur yang perlahan mulai terkikis seiring pergeseran karakteristik kota Surabaya sendiri.

Kini Surabaya lebih dikenal sebagai kota bisnis, ya meski sejak dahulu sebenarnya Surabaya telah jadi pusat perdagangan mengingat letak kota yang strategis sebagai pintu perdagangan khususnya untuk Indonesia bagian timur.

Berdasarkan survei Indonesia Best Cities for Business 2016 oleh majalah ekonomi SWA, kota Surabaya menempati peringkat 1 sebagai kota terbaik untuk berbisnis. Kota dengan pertumbuhan ekonomi diatas rata rata nasional yakni 6,73 % di tahun 2014 wajar jika banyak sekali terlihat gedung gedung tinggi, baik perkantoran, hunian (hotel/apartement), ataupun mall. Surabaya kini, memang telah jadi salah satu kota metropolitan yang terus menerus berinovasi menjadi The Real Modern City.

Ini secara tidak langsung juga mempengaruhi watak dari penduduk kotanya, yang kini mengarah ke arah individualistik. Seolah seolah ada tembok pembatas yang mengharuskan setiap orang berada diruangannya masing masing, tak perlu memperhatikan atau sekedar menengok apa yang terjadi dibalik dinding temboknya. Ya, meski tak semua, bahkan mungkin minoritas, atau malah sebenarnya hanya kecemasan penulis saja.

Yang pasti, di Surabaya masih ada penerus/penjaga kultur “Arek”. Mereka yang dahulu berjuang bersama berbekal kebenaran yang mereka yakini bersama ditengah ketidakpastian seperti apa ujung perjuangannya, demi satu kebanggaan yang sama, Persebaya. 

Ya, mereka adalah Bonek. Bonek yang lewat beragam metode perjuangannya, lewat berbagai pengorbanan mulai waktu, tenaga, uang, bahkan nyawa berhasil mengembalikan kebanggaan mereka. 


Di lain sisi, Bonek sekaligus menjadi penjaga agar Surabaya ditengah kemajuannya tak jadi Kota tanpa kata. Bonek yang masih mau saling sapa satu sama lain meski tak saling kenal, masih mau berbagi minuman/makanan, mudah disaksikan jika ada sekumpulan Bonek makan 1 bungkus beramai ramai, mereka yang saling menjaga satu sama lain, saling membantu, susah senang bersama, ini tergambar saat ada salah 1 bonek yang terkena musibah dengan spontan Bonek lain akan langsung galang dana untuk membantu, saling menghormati satu sama lain tak memandang usia, bahkan terkadang yang usianya lebih tua masih menggunakan bahasa jawa halus (bahasa kromo) saat berkomunikasi dengan yang lebih muda.

Seharusnya kini Bonek sudah dapat bersama sama merayakan sepakbola kembali, mengingat Persebaya kini telah kembali berkompetisi resmi. Namun faktanya, Persebaya, yang telah menjadi sebuah klub modern, telah benar benar merepresentasikan kota Surabaya yang juga kota modern, tentu masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki.

Jawapos, salah satu media nasional, telah membeli 70% saham kepemilikan PT Persebaya Indonesia lewat PT Jawapos Sportainment. Melalui Jawapos yang terbukti sukses didunia basket lewat PT DBL, optimisme itu dibangun kembali lewat beragam inovasi. Mulai dari pengelolaan tiket yang kini bisa dibeli secara online melalui myticket dan kedepan juga akan bisa dibeli lewat salah satu minimarket. Selain itu kini juga disediakan penjualan tiket terusan (yang dapat digunakan di seluruh laga Home Persebaya). Jersey tim dengan banyak teknologi yang digunakan seperti motif kulit buaya yang tercetak timbul sejak dalam pembuatan kain. Store resmi milik Persebaya juga telah berdiri di Gedung milik Jawapos, GrahaPena. Banyak sponsor berhasil ditarik manajemen Persebaya seperti Kopi Kapal Api, Antangin, Honda MPM, Honda Surabaya Center, Ardiles, Proteam, dan Gojek. Pemain yang bertempat tinggal di Apartment. Akun sosial media resmi yang dalam sehari saja mampu menarik banyak followers, ini melihatkan pecinta sepakbola, khususnya Bonek sangat menantikan kabar terkini tentang tim kebanggaannya.

Dan, layaknya Surabaya, modernitas Persebaya juga ada dampaknya. Mulai yang paling disoroti saat ini, dimana pemain Persebaya dirasa tak mewakili ruh, mentalitas, kultur “Arek’. Mereka dianggap tak mewakili gaya permainan ngotot, ngeyel, khas Surabaya. Hal itu linier memang, karna jika dilihat berdasarkan kelahiran pemain yang menghuni squad Persebaya saat ini, hanya 7 orang kelahiran Surabaya dan sekitarnya (Data di Jawapos,19 Maret 2017). Tanpa berniat mengecilkan pemain non kelahiran Surabaya, mengingat sejatinya karakteristik permainan bisa dibentuk. Namun, pelatih kepala Persebaya sendiri saat ini, belum mampu untuk menjawab tantangan itu. Kritik pun tak dapat dihindarkan kepada Iwan Setiawan, alih alih menjawab kritikan bonek dengan kemajuan perform tim dilapangan bola, Iwan malah menjawab dengan menantang duel bonek, dan acungan jari tengah setelah match melawan Martapura. Sungguh ironi.

Lepas dari kondisi tim, modernitas juga berdampak langsung pada supporter. Pada kasus Persebaya, dengan kenaikan harga tiket, yang sebelumnya 50rb dan akhirnya terkoreksi jadi 35rb saja, masih dianggap terlalu mahal. Selain itu, jadwal pertandingan yang lebih banyak di hari aktif, guna kepentingan hak siar juga merupakan efek yang harus diterima oleh Bonek.

Buat Bonek, menonton Persebaya di stadion adalah satu hal yang tak bisa dipisahkan. Atas nama cinta, segala cara akan digunakan agar mampu membeli tiket, jika masih saja tak berhasil, biarlah layar kaca yang membalas cinta Bonek. Karna memang, kini lebih dari 50% pertandingan Persebaya disiarkan oleh TV.

Ibarat seorang anak yang mengidamkan sepatu yang karna keterbatasan dana si anak hanya bisa melihat sepatu yang diinginkannya lewat kaca etalase toko sembari membayangkan memakainya, yang tentu berbeda rasanya jika si anak memakainya langsung. Sama halnya Bonek, kaca televisi, tak akan pernah menyajikan pengalaman yang sama dengan mendukung Persebaya langsung di stadion.

Tulisan ini tak sama sekali anti modernitas ataupun anti kemajuan. Hanya menekankan perlunya adanya keseimbangan, kemajuan pada beberapa aspek tak boleh menafikkan, tak boleh mengindahkan aspek aspek lain. Karna yang terpenting bukan symbol yang terlihat tapi substansi. 

Dan yang terpenting dari sebuah kota adalah manusia yang menempatinya, sementara sarana dan prasarana yang ada hanyalah penunjang. Begitu juga dalam sepakbola, yang terpenting adalah permainan sepakbolanya, permainan di lapangan hijau, 11 pemain lawan 11 pemain, yang lainnya faktor pendukung.

Selasa, 02 Mei 2017

ASAP DALAM SEPAKBOLA

Oleh :
Reza Kriztiawan
(Bonek Campus ITATS)


            Asap yang saya maksud bukan asap knalpot motor, asap pabrik, ataupun lawakan yang berarti asli atau palsu. Melainkan asap yang ditimbulkan dari flare atupun smoke bomb.
Flare (Suar) adalah salah satu bentuk piroteknik yang menghasilkan cahaya yang sangat terang atau panas tinggi tanpa menghasilkan ledakan. Suar digunakan untuk memberi tanda, penerangan dan alat pertahanan militer.

    Sedangkan Smoke Bomb (Bom Asap) adalah kembang api yang dirancang untuk menghasilkan asap pada pengapian. Bom asap berguna untuk airsoft gamespaintball games, pertahanan diri, dan pranks. Bom asap juga digunakan dalam tes asap.

        Dalam FIFA Safety Regulation mengenai Security Checksflare ataupun smoke bomb tidak disebutkan sebagai barang yang dilarang untuk dibawa masuk ke stadion. Yang disebutkan hanya barang yang berbahaya (dalam arti luas) dan tidak ada penyebutan flare. Penekanan lebih kepada alkohol yang mungkin dikonsumsi penonton. FIFA menyebut flare secara lebih luas di security regulation artikel 17 menggunakan kata Pyrotechnic. Artikel 17 poin 3 menyebutkan wewenang Security Officer (penanggung jawab keamanan) untuk menimbang resiko dan mengambil tindakan.

           Di pertandingan sepak bola baik dalam skala nasional ataupun internasional, tidak sedikit bagi kalangan suporter yang menampilkan atraksi tersendiri di tribunnya. Atraksi seperti apa? Banyak! Koreo kertas, pengibaran bendera raksasa, ataupun nyanyian yang diiringi gemuruh tangan. Namun apakah peran flare di sini untuk memeriahkan atraksi tersebut? Saya pribadi cukup terhibur. Lebih dari memeriahkan suasana.

          Nyatanya flare dan smoke bomb bisa juga menciptakan suasana “neraka buatan” oleh suporter yang ditujukan kepada pemain lawan. Di luar negeri khususnya Eropa , keamanan yang super ketat pun, flare dan smoke bomb masih bisa masuk ke dalam stadion. Dalam skala pertandingan Liga Champion ataupun Liga Malam Jumat (Europa League) faktanya kita sering melihat lewat televisi masih adanya flare yang bisa “hidup” di antara nyanyian ataupun atraksi koreo dari suporter. Bagaimana dengan di Indonesia?


   PSSI pernah dijatuhi denda dari AFF (Federasi Sepak Bola Asia Tenggara) terkait penggunaan flare di Stadion Pakansari. Dendanya disebut mencapai lima ribu dollar AS atau sekitar Rp 67 juta karena dianggap lalai dalam mengantisipasi masuknya flare dari suporternya sehingga menganggu jalannya pertandingan. Ya pada saat pertandingan berlangsung.

     Mungkin yang dimaksud flare atau smoke bomb menganggu adalah jika dinyalakan waktu pertandingan berjalan dan asapnya dapat masuk ke lapangan sehingga mengganggu jalannya pertandingan.
        Mungkin flare bisa dinyalakan waktu sebelum kick off berlangsung ataupun setelah pertandingan selesai itu jauh lebih “aman”. Memang kebanyakan di Eropa ataupun Amerika Latin sering menampilkan atraksi flare. Tapi mereka lakukan pada saat sebelum atau sesudah pertandingan berlangsung.

      Saya pikir larangan seperti apapun atauapun denda berapapun tentangflare dan smoke bomb untuk beberapa tahun ke depan memang masih akan terus didengungkan. Tapi jangan lupa, di sini suporter juga punya seribu cara juga agar atmosfir “neraka buatan”-nya tercipta di stadion pada saat tim pujaanya berlaga.

        Untuk kedepannya, flare dan smoke bomb pasti masih akan bergandengan dengan dunia suporter sepak bola terlebih dengan sepak bola Indonesia ini. Percayalah!