Jumat, 30 Juni 2017

PERSEBAYA 90 TAHUN (3): ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Jika mengingat perayaan anniversary Persebaya ke 90 tahun dengan mengulas tentang pemain Persebaya saat ini, para legenda terdahulu, perayaan di lapangan, rasanya kurang lengkap jika euforia itu tidak menyentuh rumah para pemain keduabelas berdiri, bernyanyi untuk sang kebanggaan bersama yaitu tribun.

Di tribunlah, Bonek julukan pendukung Persebaya all out. Jika hujan mereka rela berbasah-basahan selain membasahi bibir kering saat berpuasa tentunya, jika harus berpanas-panasan dengan merelakan keringat bercucuranpun mereka terima, atau ketika harus berdesak-desakan dengan Bonek lainnya untuk bisa duduk atau berdiri di posisi strategis menurut mereka pun akan dilakukan, walaupun tak sedikit nggrundelan sana sini ketika beberapa orang naik turun tribun untuk mendapatkan tempat.

Khusus momen perayaan anniversary kemarin, penulis berpendapat tidak jauh berbeda dengan laga Homecoming Persebaya, hanya mungkin jika Homecoming adalah laga penanda kembalinya Persebaya dikancah liga dua dan memang dinanti-nanti oleh seluruh bonek bahkan warga Surabaya sendiri, untuk perayaan anniversary kemarin rohnya terasa berlipat-lipat. Berlipat-lipat euforianya, semangatnya, suasananya, momentumnya, bapernya, dan berujung pada sulitnya mereka move on beberapa waktu setelah perayaan anniversary selesai.

Membahas tribun, maka harus mendetail pula apa yang coba digali dari keistimewaan tribun untuk para pendukung dan tim tentunya. Jika para pemain fokus bermain di lapangan dengan berusaha semaksimal mungkin bahkan berani mati menurut kutipan pesan salah satu legenda Persebaya Rudy Keeltjes saat bertarung di lapangan hijau, maka porsi dari para pendukungnya adalah semaksimal pula untuk memberikan suguhan kreativitas aksi koreo, dan nyanyian atau chant semangat tanpa rasis. Diakui atau tidak, menurut pengakuan para legenda yang sempat penulis wawancarai, hadirnya Bonek dimanapun Persebaya berlaga selalu menambah semangat ngeyel pemain di lapangan. Bagaimana tidak, menurut pengakuan I Gusti Putu Yasa, mantan penjaga gawang Persebaya era 1980an, beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa Bonek saat itu memang suporter yang bernyali tinggi, tekad kuat, dan loyalitasnya tidak main-main untuk Green Force. Jika para pemain bermain jelek saat itu, maka Bonek akan berteriak dengan lantang di setiap tribun untuk menunjukkan kepada pemain bahwa “iki aku teko nggawe awakmu Persebaya, ojok kendur ojok lelah nggawe tampil sebaik mungkin nggawe pendukungmu” tetapi jika pemain bermain bagus maka Bonek akan memberikan aplaus sepanjang waktu saat pertandingan. Maka loyalitas dan ketulusan Bonek ini tetap telihat, terjaga, dan jauh lebih dewasa saat ini. Mereka memahami betul bagaimana makna dukungan nyata untuk kesebelasan, tanpa merugikan tim dengan denda yang sewaktu-waktu akan diterima oleh Persebaya, sejurus kemudian Bonek mulai berani menciptakan chant-chant penyemangat tanpa rasis untuk Persebaya.

Itu terlihat dan semakin kentara ketika momen anniversary kemarin. Babak pertama terlihat setiap tribun dengan semangat membawakan chant-chant Persebaya. Ya tidak sedikit terkadang kecolongan dengan nyanyian rasis yang untungnya tidak berlangsung lama, dan dapat dikendalikan lagi untuk fokus menyanyikan chant lainnya yang tidak berbau rasis. Memang terlihat ganjil sekali, ketika semangat untuk berubah dan mau menjadi suporter yang fanatik beretika atau fanatik dewasa harus berani mengalahkan diri sendiri untuk mau berubah.

Memasuki babak kedua. Penulis merasakan suasana yang jauh berbeda dari babak pertama. Jika sebelum babak pertama tidak sedikit penulis melihat dulur-dulur Bonek berurai air mata karena rasa haru dan sujud syukur bahwa perjuangan para pendahulu dan pejuang nekat yang sekarang mampu membawa Persebaya kembali berkompetisi, maka di babak kedua ini penulis merasakan dan melihat langsung, menjadi salah satu saksi dari ribuan Bonek lainnya bahwa antar tribun tetaplah SATOE BONEK SATOE, dan SADULURAN. Yang membedakan tribun hanyalah menurut sudut pandang masing-masing Bonek yang berada di tribun ini dan itu, sana dan sini, padahal jauh dari pemikiran yang sengaja membedakan, Bonek tetaplah suporter yang kompak dan solid.

Di pertengahan babak kedua, romantisme tribun yang penulis rasakan semakin terlihat ketika inisiatif untuk menggelorakan tribun dimulai dari tribun utara. Wall of death yang biasa dulur-dulur tribun utara lakukan kali ini dilakukan dengan mengajak tribun timur saling nyahut-menyahut (menimpali). Ajakan itu tidak berjalan dengan baik awalnya, karena dari kejauhan terlihat tribun timur juga sedang asik ngechant bareng. Baru ajakan yang ketiga dengan serentak tribun utara mengajak tribun timur melalui teriakan “timur timur timur timur timur” barulah romantisme itu dimulai. Atas komando Capo Ipul-Wakbreng dari Utara dan Dirijen Hamim Gimbal-Okto Tyson, nyanyian itu terlihat menyejukkan hati. Lalu wall of death kedua tribun utara mengajak penghuni tribun VIP, melihat ajakan tribun utara, para penghuni tribun VIP jelas tidak mau berdiam diri dan kalah dengan tribun timur, maka kedua kalinya, pribadi penulis salut melihat kekompakan tribun VIP yang notabene nya Bonek yang ingin menikmati permainan dengan asik dan santai. Lalu, wall of death ketiga tribun utara ini mengajak tribun selatan/kidul untuk bersuka cita dengan chant yang dinyanyikan bersama.sempat tiga kali lebih untuk bisa mengajak tribun kidul mau melakukan wall of death via LDR ini, karena setelah ditelisik, tribun kidul juga sedang melakukan koreo dan ngechant bersama, dan kor teriakan ajakan ke tribun kidul tidak langsung bisa ditimpali langsung, mengingat terhalang oleh jarak lapangan yang membentang tribun utara dan kidul. Penulis merasakan sendiri bagaimana romantisme tribun ini semakin membuat kami semua salut, karena teriakan chant dari tribun kidul melalui komando Ali Akbar jelas terdengar tak kalah keras dari tribun utara. Diakui atau tidak sekali lagi, penulis merasa beruntung bisa menjadi bagian dari perayaan anniversary Persebaya yang lalu. Momen romantisme tribun, ya memang sangat menyentuh hati dan pikiran kami.

Ah satu lagi, karena kami kedatangan tamu dari Persikmania, suporter Persik Kediri, untuk keempat kalinya penulis merasa bangga, bagaimana tidak bangga jika suporter tamu saja mampu menimpali ajakan untuk ngechant bersama melalui wall of death dan mereka hafal! Oh May God.

Kenapa berulang-ulang penulis selalu menyelipkan romantisme tribun? Yups, bagi penulis pendukung Persebaya bukan lagi suatu paksaan atau hal bodoh, bahkan menjadi Bonek atau Bonita pun bukanlah suatu kesalahan dan kampungan. Karena dari identitas tersebut kami paham, bahwa sejarah panjang Persebaya beserta perjuangan kami selama ini sepatutnya mampu kami jaga, bukan untuk mengubah sejarah, tetapi menjaganya dan mengedukasi lainnya untuk mau tau, mau peduli, mau perhatian, dan bangga menjadi pendukung PERSEBAYA. Romantisme tribun ini jelas tidak terlepas dari hal tersebut, karena bangganya menjadi Bonek dan Bonita, maka dihadapan Persebaya kita semua sama. PERSEBAYA tak pernah menanyakan bahkan mempermasalahkan apa pendidikan terakhirrmu, berasal dari kampung manakah kamu, seperti apa cara berpenampilanmu, dan dari suku atau ras apa kamu, tetapi Persebaya lah yang mampu menyadarkanmu, bahwa di dalam tribun pun tidak ada komunitas yang dibesarkan, tidak ada tribun yang dibangga-banggakan melebihi Tuhannya, karena Persebaya jauh lebih besar dari komunitas yang menjadi “kendaraanmu” mendukung Persebaya. Maka sewajarnya semua tribun mampu menghidupkan “tempatnya” berdiri, memberikan semangat yang tiada henti, saling mengingatkan bahwa rasis bukanlah hal yang harus diutamakan terus-menerus saat di dalam stadion, tetapi besarkan semangat dan nyanyian pendukung untuk kesebelasan kita.

Romantisme tribun.. penulis berharap bukan hanya untuk perayaan anniversary saja mampu kami rasakan dan kami lihat, tetapi semoga ketika liga kembali berjalan, romantisme antar tribun semakin menonjol dan menjadi tradisi di setiap laga Persebaya. Baik kandang atau tandang, baik laga resmi ataupun uji coba. Ya antar tribun, bukan (satu) tribun saja.

PERSEBAYA 90 TAHUN (2): PERAYAAN DI LAPANGAN, DAN ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Masih tentang perayaan anniversary Persebaya yang ke 90 tahun. Masih dengan suasana yang sampai saat ini saya sering berkata dalam hati “shit aku sek gorong isok move on teko euforia mau bengi” saat jari-jari lentik ini asik scroll atas bawah di Instagram dan twitter, bahkan youtube melihat dokumentasi dari dulur-dulur Bonek suasana GBT malam itu. Melebihi kebanggaan merayakan anniversary bersama pasangan mungkin ya.

Setelah laga Legend Persebaya hijau dan putih usai, kedua tim baik Persebaya dan Persik sedang bersiap diri untuk pemanasan di lapangan, dan saya bersama Bonek lainnya memilih untuk duduk santai sambil berbagi lumpia dan air mineral gelasan satu sama lain menunggu kick off dimulai pukul 20.30 WIB.

Peluit tanda pertandingan dimulai telah ditiup, dan kami yang berada di lantai dua serentak memilih berdiri sambil ngechant dengan semangatnya. Dari setiap sudut tribun yang tadinya masih terlihat bolong-bolong, tidak terasa menjadi riuh dan full oleh ribuan Bonek yang memadati setiap tribun, terutama tribun ekonomi utara, timur, dan selatan. Suasana semakin semarak tatkala Rendy Irawan berhasil memasukkan bola ke gawang Persik dan gooooollll, nyanyian antar tribun semakin membahana di dalam GBT, dan tentunya semakin bersemangat untuk terus memberikan suntikan semangat melalui chant-chant Bonek.

Peluit babak pertama telah usai, menandakan akan ada jeda untuk para pemain beristirahat, dan kami juga bisa sedikit menselonjorkan kaki kami. Saat saya bersama lainnya memilih untuk turun dan pindah ke lantai satu, hiburan terus ada dan tidak berhenti begitu saja. Saya melihat puluhan Bonek dengan semangatnya bergotong-royong menyeret dan melebarkan kain besar dengan gambar logo Persebaya, memutar dan berlari-lari kecil agar kain besar tersebut mampu terlihat sempurna seperti yang direncanakan sejak awal. Sedangkan yang berada di tribun dengan asiknya menyalakan flare dan smoke bomb. Sudah lama saya tidak pernah melihat aksi tersebut, ya selain karena suasana yang berbeda, juga karena kreatifitas dulur-dulur Bonek yang semakin hari semakin keren untuk diapresiasi dengan baik.

Babak kedua dimulai, dapat saya simpulkan melalui dokumentasi dari video dan foto, terlihat jelas dulur-dulur Bonek sudah bersiap dengan flare ditangan masing-masing dan kembang api dari setiap tribun yang akan dinyalakan, serta paper roll yang akan dilemparkan ke arah lapangan. Permainan dibabak kedua semakin asik untuk diamati, tatkala Persik mampu menyamai kedudukan, tak ada rasa kecewa dari kami. Ya memang kami memaklumi ini bukan laga resmi yang akan mempengaruhi klasemen tim kami di grup, lagipula ini hiburan, yang tak lain bagian dari perayaan anniversary klub berjuluk Bajol Ijo ini.

Saat masing-masing tribun semakin bergelora dengan koreo, chant, dan aksi menyalakan flare, ada satu momen dari keseluruhan momen yang membuat saya, bahkan semua Bonek yang hadir tak akan pernah melupakannya. Ketika ajakan tribun utara untuk wall of death dari gate 4 ke gate 6, atau gate 4 ke gate 3, malam tadi untuk pertama kalinya saya mampu merasakan rasa haru ketika sahut-menyahut chant klasik yang sering dinyanyikan siapapun menjadi barang langka antara tribun utara dengan tribun timur, tribun utara dengan VIP, antara tribun utara dengan tribun selatan, bahkan antara tribun utara dengan gate 19 yang dipenuhi oleh suporter tamu Persikmania. Applaus yang tiada henti dan tawa bahagia mampu saya rekam dengan mata saya sendiri, bahwa satoe Bonek satoe dan kabeh dulur memang yang harus kami junjung tinggi bahkan menjadi prinsip kami untuk terus meningkatkan kreatifitas antar tribun tanpa mengutamakan gengsi tribun demi kepentingan pribadi.

Sesaat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang mempertemukan Persebaya dengan Persik Kediri, saat itu juga serentak perayaan anniversary Persebaya bukan hanya berada di lapangan, tetapi juga perayaan dari dulur-dulur Bonek yang kompak menyalakan flare, smoke bomb, dan kembang api menandai rasa syukur kami bahwa hingga detik ini, kami masih bisa bersama-sama dan merayakan usia klub kebanggaan warga Suroboyo. Nyanyian selama ulang tahun dari grup band Jamrud yang dinyanyikan seluruh Bonek menandai bagaimana perjalanan dan perjuangan jauh telah Persebaya dan Bonek lalui hingga mampu bertahan dan terus melangkah di usia 90 tahun ini.

Bukan usia yang masih muda lagi, tetapi tak serta merta membuat Persebaya menjadi besar kepala akan julukannya sebagai klub yang ditakuti sejak jaman Perserikatan. Perjalanan Persebaya yang dulunya sempat dipaksa mati, mengalami dualisme hingga membuat kami sering turun ke jalan, ke pengadilan, bahkan gruduk Jakarta dan bandung demi mendapatkan pengakuan status Persebaya untuk bisa berkompetisi lagi semakin membuat kami menyadari bahwa sejarah memang hanya dibuat oleh para pemenang, para pejuang, pejuang sing tatak dan bernyali, dan malam tadi, para pejuang yang juga pemenang itu tumpah ruah dari tribun berlari turun ke lapangan. Entah untuk mengejar pemain idola demi mendapatkan tanda tangan, jersey, berfoto bareng, atau berlari-lari ke arah tribun lainnya sambil mengibar-ngibarkan giant flag mereka..ahh momen yang saya rasa akan selalu berbeda setiap tahunnya dari perayaan anniversary Persebaya kedepannya, bahkan turunnya ratusan bahkan ribuan Bonek ke lapangan sudah jarang saya lihat di GBT.

Perayaan anniversary Persebaya di lapangan tadi malam sangatlah berkesan di hati siapapun, bukan hanya kami sebagai suporter, tetapi juga pemain, manajemen, keluarga pemain, dan official, tentunya official yang saya kagumi sejak saya mendatangi kediaman beliau dan berhasil mendengarkan kenangan manisnya saat di Persebaya ataupun saat Persebaya belum bisa berkompetisi lagi, beliau adalah Madra’i.

Usia madra’i mungkin belum setua usia Persebaya, tetapi semangat, keyakinan, dan keloyalan beliau menjadi salah satu contoh bagaimana menjadi individu yang mencintai Persebaya dengan tulus, tanpa ada tedeng ali-ali kepentingan tertentu tetaplah berdiri, berada disamping kesayanganmu, yaitu Persebaya. Mengingat dahulu saat Persebaya mengalami dualisme, hingga aksi boikot menjadi penanda Persebaya tak bisa berkompetisi beberapa musim, Madra’i dengan setia tetap memilih bertahan di Persebaya walaupun beliau tahu bahwa memilih menunggu pulihnya Persebaya yang tak tahu kapan akan berakhir, gaji belum terbayar lunas, dan kesehatan yang tetap menjadi perhatiannya di usia senja, beliau tak pernah mundur sedikitpun untuk berpaling dan meninggalkan Persebaya. Maka jadikan pilihan dan aksi nyata Madra’i sebagai cambuk semangat kita untuk tetap menjadikan Persebaya kebanggaan bersama, yang sepatutnya tidak menjadi kendaraan yang membawa kita mencapai kepentingan pribadi dan merugikan kebanggaan ini.

Persebaya, kau lebih besar dan sangar dari yang kukira, tetapi aku tak pernah takut dan ragu untuk mendukungmu. Karena kaulah, aku mengenal arti perjuangan, persaudaraan, kesetiaan, dan kepercayaan akan dukungan nyata yang tak pernah membuatku menyesal telah mendukungmu.


RUBAH STIGMA BONEK LEWAT TUGAS AKHIR KULIAH

Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)

Pada tanggal 3-4 Juni lalu, ada sebuah acara menarik yang bertajuk Paradesia (Pameran Tugas Akhir Desain Grafis Unesa). Acara yang dibuat oleh teman-teman Jurusan Desain Grafis Unesa ini adalah acara tahunan yang memamerkan karya-karya tugas akhir dari mahasiswa desain grafis Unesa. Pada tahun ini Paradesia memasuki jilid ke-6. Selain pameran tugas akhir, acara yang berlangsung di gedung GEMA kampus Ketintang ini juga menyajikan talk show, lomba ilustrasi dan fotografi, juga perform dari band lokal.

Sumber : Instagram Paradesia

Salah satu karya tugas akhir yang menarik perhatian, yaitu karya yang dibuat oleh Yusuf. Mahasiswa desain grafis yang juga anggota Bonek Unesa ini mengangkat tema “Rebranding Strikercrocawear” yang merupakan produk merchandise berbau Persebaya dan Bonek.
Karya Tugas Akhir Yusuf (Foto Pribadi) 

Dalam pengerjaan tugas akhir ini, Yusuf bertujuan untuk mengangkat citra Bonek yang selalu dianggap negatif oleh masyarakat, “Soale aku seneng Persebaya dan pingin  memgenalkan Bonek tidak hanya dari sisi negatifnya karena ada sisi positif seperti memiliki usaha merch dan kedepannya ingin punya andil penting untuk Persebaya,” terang Yusuf saat saya temui di sebuah warung kopi kawasan kampus Ketintang.

Karya tugas akhir milik Yusuf ini juga sudah memiliki website untuk mempermudah pemilihan produknya, “Harapannya, saat ini era sudah digital. Untuk mempermudah pemilihan produk dan transaksi jual-beli disediakan web juga,” ujarnya.

Design Web (Foto Pribadi) 
Saat ini pemilik usaha merchandise Persebaya di kalangan teman-teman Bonek sudah banyak sekali jumlahnya. Ada istilah untuk dhulur-dhulur yang memiliki usaha merch biasanya disebut “Arek Bakulan”. Salah satu wadah yang menaungi arek bakulan, yaitu Paguyuban Pasar Bonek.

Semoga saja dengan banyaknya jumlah Bonek yang memiliki usaha merch bisa turut andil membantu perkembangan Persebaya.

BONEK DAN KULTUR CANGKRUK

Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)

“Rek, ayo gak cangkruk ta ?”
“Cangkrukan sek, rek! Ambek ngopi enak.”

Tentu kita sudah sering mendengarkan atau bahkan mengucapkan langsung kalimat ajakan di atas. Cangkruk sambil minum kopi bersama teman-teman adalah kegiatan yang mengasyikkan, walaupun terkadang ada teman yang diajak cangkruk dan ngopi tapi pesennya es.

Istilah cangkruk sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya. Cangkruk adalah kegiatan kumpul bersama, nongkrong bareng, ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman di suatu tempat. Bisa di teras rumah, pos ronda, warung kopi sampai dengan cafe. Biasanya tempat paling favorit untuk cangkruk, yaitu di warung kopi. Selain karena tempatnya yang merakyat, warung kopi punya menu andalan yaitu kopi hitam tanpa merek dan tak lupa gorengannya. Pelaku kegiatan ini pun beragam, dari tua sampai muda, pengusaha, buruh, sopir truk, tukang becak sampai dengan Bonek.

Warung Kopi 

Dalam kegiatan cangkrukan, ada banyak sekali topik obrolan, mulai dari yang serius sampai yang begejekan. Mulai dari pembahasan ekonomi, politik, curhat cinta sampai bal-balan. Kalau pembahasan sudah menjerumus pada sepakbola tentu tidak afdol kalau tidak membahas Persebaya. Cangkrukan di warung kopi bersama teman, mbahase Persebaya, sambil menyeduh kopi dan menghisap kretek dengan nyenden di tembok sampai posisi 45 derajat, apalagi kalau ada fasilitas wi-fi gratis dan colokan, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!

Saat Persebaya bertanding warung kopi biasanya dijadikan titik kumpul para Bonek sebelum menuju stadion bersama-sama. Cangkrukan dhisek sebelum nyetadion. Begitu juga saat usai pertandingan, kebanyakan para Bonek tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan melipir ke warung kopi untuk sekedar membahas hasil pertandingan.

Kultur cangkruk di warung kopi bagi Bonek bisa menjadi kegiatan merawat ingatan. Tidak jarang saat nyangkruk ada Bonek yang lebih tua menceritakan kejayaan Persebaya dimasa lampau pada Bonek yang lebih muda. Bagaimana hebatnya sundulan Syamsul Arifin, tentang pemilik ”Tendangan Geledhek” Eri Irianto, tangguhnya Bejo Sugiantoro mengawal pertahanan bahkan sampai gantengnya Zheng Ceng.

Persebaya tidak melulu tentang Andik Vermansyah. Melalui kegiatan nyankruk di warung kopi itu tadi kita bisa menelusuri mesin waktu menuju masa lampau. Bercerita tentang apa pun soal Persebaya di masa lalu atau masa sekarang.

Pada akhirnya, Persebaya itu abadi. Hidup di setiap sudut warung kopi kota Surabaya. Diceritakan dari generasi ke generasi. Melekat pada Kota Pahlawan.

Persebaya selamanya. . .

Salam satu nyali!

Wani!

Senin, 19 Juni 2017

PERSEBAYA 90 TAHUN (1) : LEGENDA KEMBALI BERJAYA

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT) 

Ijo ijo ijo ijo ijo, teriakan yang kerap saya dengarkan saat perjalanan menuju Gelora Bung Tomo bersama puluhan dulur Bonek dengan semangatnya mengibar-ngibarkan giant flag dan syal kebanggaannya. Laga perayaan anniversary Persebaya melawan Persik kediri memang masih lama untuk dimulai, mengingat saya berangkat masih sore hari dan laga pembuka akan dimulai dengan Legend Persebaya yang akan bermain mulai pukul 18.30 WIB.

Sesampainya saya di area luar GBT, euforia perayaan bertambahnya usia Persebaya semakin membuat bulu dipergelangan tangan saya berdiri alias merinding. Mulai anak-anak, kaum perempuan yang terlihat masih remaja hingga sudah berumur senja pun dengan semangatnya mereka ingin segera masuk ke dalam GBT, ya karena mereka tidak ingin melewatkan momen berdiri ataupun duduk bahkan yakyak’an di tribun saat Legend Persebaya memulai laga eksebisinya. Saya paham, mungkin dari beberapa yang saya sebutkan masih belum memahami siapa saja pemain yang masuk di tim Legend Persebaya putih dan hijau dari dekade 1970, 1980, dan 1990an, bahkan jika ditanya untuk menyebutkan pemain siapa saja yang mewakili per dekade, saya sendiri juga masih kesulitan untuk menjawab dengan benar dan lengkap, tetapi jauh dari hal tersebut saya bangga sekali bisa melihat rasa gemas, kezel (kata ABG jaman edan sekarang) atau ketawanya mereka sewaktu melihat para sesepuh itu menendang bola. Bagaimana tidak gemas seakan ingin mencubit pipi kirana (anak kecil yang hitz karena kecerdasannya di Instagram) lha wong yang niatannya mau menendang bola, eh malah rumput yang kesepak, yang dengan yakinnya mau mengoper bola ke partner timnya eh malah jatuh njelongop, bahkan bola belum diterima saja dengan tataknya loncat untuk oper bola keatas.

Betapa kagumnya saya dengan semangat yang masih terlihat dari beliau-beliau ini, mereka yang di lapangan dan bangku cadangan mengajak kita untuk mau tau dan mau belajar tentang sejarah panjang perjuangan mereka dahulu seperti apa saat membela Persebaya. Persebaya yang besar hingga detik ini, tidak terlepas dari kerja keras dan kesolidan para pemain serta jajaran manajemen yang dulu jatuh bangun mempertahakan ciri khas permainan, karakter, dan ikon Arek Suroboyo.

Seperti Maura Hally, Muharrom Rusdiana, Putu Yasa, Yongki Kastanya, Mustaqim adalah beberapa pemain yang sering saya temui saat momen yang berkaitan dengan Persebaya dan Bonek. Melalui mereka, saya seakan diajak kembali untuk mengingat masa keemasan mereka, lebih tepatnya mereka yang mengingatkan sambil menceritakan perjalanan awal mula karir mereka dari klub internal, berhasil menembus skuad Persebaya dan ada yang sukses berkarir di Timnas Indonesia.

Tentunya karena saat mereka bermain, saya masih belum lahir di Bumi ini, bahkan mungkin ayah dan ibu saya masih menerawang akan seperti apa wujud anak keduanya ini. Saya memulai untuk berimajinasi saat bibir sesepuh tersebut dengan gayengnya memulai kisahnya. Dari yang kesulitan mempunyai sepatu untuk latihan, harus pulang pergi menempuh jarak yang lumayan jauh, atau harus berlatih dengan keras agar tetap bisa bermain di tim inti. Melihat mereka bercerita, tidak jarang saya melihat guratan senyum bahagia dan rasa bangganya tentang kenangan manis bermain di Persebaya, mengingat siapapun di lubuk hati paling dalam mempunyai keinginan untuk bermain dan membela klub berjuluk bledug ijo.

Tidak sedikit yang tertawa terbahak-bahak sambil mengeluarkan joke saat Rudy Kletjes keluar digantikan dengan pemain lain, beliau berjalan sambil memegangi pinggang kirinya, “boyok e Rudy kumat mari body cash” atau celetukan lainnya seperti “pemaine bingung kape ngegolno, wong podo nggowo jeneng Persebayae, engkok dipikir bunuh diri”, dan celetukan lainnya. Hingga akhinya pertandingan Legend Persebaya hijau dan Legend Persebaya putih usai ditutup dengan penyerahan jersey bertanda tangan seluruh pemain Legenda Persebaya yang diberikan kepada mantan manajer tim Persebaya kala itu, yaitu Dahlan Iskan.

Persebaya Legend bersama Dahlan Iskan (Sumber : @officialPersebaya)

Dari nama-nama yang saya sebutkan, memang mayoritas adalah pemain dekade 1980an, kenapa saya bisa tahu? Yups, saya bersyukur pernah menjadi bagian dari pelaksanaan pameran Mahakarya Bonek Campus History Of Persebaya, dimana saya dan teman-teman Bonek Campus bersatu padu mengesampingkan prioritas kami selain kuliah dan bekerja dengan merangkai konsep pameran yang menampilkan sejarah Persebaya kurang lebih dari dekade 1970, 1980, 1990, dan 2000an keatas. Melalui pameran tersebut, saya mendapatkan pengalaman dan hal baru yang saya peroleh. Bahwa PERSEBAYA JAUH LEBIH SANGAR DARI YANG SAYA KIRA DAN PIKIRKAN. Bahwa Persebaya yang kita bangga-banggakan bukan hanya dihuni oleh Andik Vermansyah, Evan Dimas, Zheng Cheng, Rendy Irwan, Misbakhul Solikhin atau abdul aziz yang kerap membuat kaum hawa di tribun berteriak dengan nggetunya, termasuk saya juga sih, tetapi Persebaya yang besar akan prestasinya, besar akan sumbangsih pemainnya ke Timnas Indonesia, dan besar dengan segala kebanggaannya yaitu dahulunya tidak terlepas dari usaha yang keras, kesolidan, keloyalan, dan kesetiaannya dari para pemain legenda terdahulu, yang mungkin kita belum mengikuti permainanya karena belum lahir dan lain-lain.

Melalui Anniversary Persebaya ke 90 tahun kemarin, melalui PT.JPS, manajemen mengajak kita untuk kembali mengingat apa yang diucapkan oleh Presiden Klub tentang sejarah, yang bunyinya learn history, use history, and make history. Yang artinya pelajarilah sejarah, gunakanlah sejarah, dan ciptakan sejarah. Poin tentang pelajarilah sejarah, bagaimana pandangan kita tentang para legenda Persebaya ini, bahwa mereka juga bagian terpenting dari jayanya Persebaya, dan sepatutnya kita menghargai perjuangan beliau-beliau dari dekade berapapun, karena melalui perjuangan merekalah, hingga detik ini, walaupun Persebaya sempat dipaksa mati untuk beberapa tahun, tetapi kita masih bisa berkumpul, bernyanyi, berangkulan, dan bisa menyaksikan “masa kembalinya kejayaan” mereka di lapangan hijau dengan siapapun di GBT dalam perayaan anniversary Persebaya yang ke 90 tahun.


Panjang umur PERSEBAYAKU, panjang umur perjuangan kita selama ini, dan panjang umur untuk para legenda Persebaya yang masih hidup, semoga di tahun berikutnya kita masih dipertemukan dengan beliau-beliau di lapangan hijau. WANI!

Jumat, 02 Juni 2017

MENOLAK LUPA AROGANSI APARAT TIGA JUNI



oleh: Reza Kriztiawan (Bonek Campus ITATS)

Minggu, 3 Juni 2012 pertandingan lanjutan kompetisi Indonesia Premiere League atau yang disingkat IPL mempertemukan tuan rumah Persebaya melawan Persija Jakarta 1928 di stadion Gelora 10 November Surabaya. Saat itu Persebaya yang diperkuat berbagai macam pemain seperti Andik Vermansah, Mat Halil, Fernando Soler, dll memang diunggulkan untuk menang mengingat mereka bertanding di kandang sendiri. Persija sendiri bukan tanpa kekuatan, mempunyai mantan pemain Persebaya yaitu Danilo Fernando serta De Porras juga patut untuk diwaspadai.

Danillo Fernando mengamankan bola dari Karlovic

Kick Off berlangsung,jual beli serangan terjadi kala itu. Persebaya yang diharuskan menang bermain ngeyel agar dapat unggul terlebih dahulu, namun justru Persija yang bermain lepas tanpa beban seakan menampilkan permainan yang terbuka. Alhasil Persija unggul terlebih dahul 2 gol lewat sundulan dan sepakan dari De Porras, Persebaya 0-2 Persija. Persebaya langsung merespon,melalui pinalti dari Oktavio Dutra di kota pinalti dan sepakan Fernando Soler mampu membuat Persebaya berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sampai di menit akhir pertandingan, lagi De Porras membuat seisi Gelora 10 November Surabaya terdiam setelah De Porras membuat Persija unggul dengan skor 2-3. Saat-saat pertandingan akan berakhir dengan kemenangan Persija, Fernando Soler membuat kejutan lewat sepakannya yang berujung gol untuk menyamakan kedudukan menjadi 3-3. Pertandingan yang membua seisi stadion bergemuruh dan wasit meniup peluit berakhirnya pertandingan, Persebaya 3-3 Persija Jakarta 1928.
Seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya, setelah pertandingan berakhir beberapa Bonek lantas ingin memasuki lapangan untuk melepas spanduk yang dipasang disisi pagar tribun bukan memasuki lapangan untuk berbuat ricuh. Namun respon berlebihan ditunjukkan oleh bapak polisi yang terhormat, mereka lantas seperti melarang serta memberikan ayunan tongkatnya kepada beberapa Bonek yang ingin melepas spanduk mereka.

Polisi menembakan gas air mata ke tribun penonton
Kericuhanpun semakin menjadi,Bonek yang tak terima lantas memberikan perlawan kepada polisi sehingga menyulut tindakan dari Bonek yang berada ditribun. Ayunan tongkat dari polisi makin membuat situasi semakin tak terkendali. Polisi lalu membabi buta melepaskan tembakan gas air mata ke arah kerumunan suporter. Suasana pun menjadi panik. Suporter kemudian berebut keluar dari stadion untuk menghindari gas air mata yang membuat mata pedih.

Efek dari gas air mata (sumber: google)

Seharusnya aparat cukup mundur untuk menghindari lemparan/koordinasi dengan pentolan2 bonek untuk menenangkan jika memang dianggap berpotensi rusuh. Tapi yang dilakukan malah sebaliknya, aparat memilih melakukan tindakan represif memilih menembakkan gas air mata ke arah semua tribun secara membabi buta. Kericuhan yang terjadi bukan hanya didalam stadion melainkan sampai meluber diluar stadion yang menimbulkan beberapa korban anak kecil dan beberapa kerusakan. Ya, ke arah tribun LANGSUNG, hasilnya? Jelas Bonek semburat, panik, dan berlarian. Banyak Bonek maupun Bonita yang setelah berhasil keluar stadion tergeletak baik karna sesak, ataupun perih matanya. Kericuhan yang terjadi bukan hanya didalam stadion melainkan sampai meluber diluar stadion yang menimbulkan beberapa korban anak kecil dan beberapa kerusakan.

Seorang Bonek kecil yang menjadi korban di luar stadion

Dan yg membuat kami Bonek bersedih, dikabarkan rekan kita dulur semua Purwo Adi Utomo menghembuskan nafas terakhirnya.
Dalam kondisi tersebut, Purwo Adi Utomo, terjatuh dari tribun ekonomi lalu terinjak-injak rekan-rekannya yang panik hingga meninggal. Setelah dibawa pulang dari RSUD Dr Soetomo, Jenazah Tomi lalu dimakamkan keesokan harinya di TPU Asem Jajar dekat dengan rumah almarhum.
Kalau kami boleh bertanya pak polisi, sebagai warga negara yg harusnya bapak layani dan ayomi, dan juga sebagai supporter sepakbola. Apakah salah kami datang ke stadion, mendukung tim kebanggaan kami, sampai bapak harus menembakkan gas air mata kearah kami? Kenapa bapak memilih menembakkan gas air mata yang seharusnya itu menjadi pilihan terakhir? Apakah tembakan gas air mata sudah bapak anggap tepat dengan kondisi didalam tribun banyak anak kecil dan wanita? Sungguh kami menyesalkan tindakan tersebut pak, melepaskan gas air mata hingga rekan kami meninggal dunia. Kini kami hanya bisa berharap adanya keadilan, dan tidak ada lagi kejadian serupa/menyerupai kejadian tsb #StopKekerasanTerhadapSupporter.

Salah satu sudut stadion Gelora 10 November saat ini


Untuk teman sekaligus rekan kami, Purwo Adi Utomo, tenang di tribun Surgamu dan mari mendoakan almarhum agar selalu berada di sisi-Nya dan kami berharap kepada aparat, untuk lebih jeli memilih cara-cara dalam mengamankan sebuah pertandingan, cara-cara preventif bukan Represif !


Salah satu mural disudut kota Surabaya yang didedikasikan kepada almarhum