Jumat, 30 Juni 2017

PERSEBAYA 90 TAHUN (3): ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Jika mengingat perayaan anniversary Persebaya ke 90 tahun dengan mengulas tentang pemain Persebaya saat ini, para legenda terdahulu, perayaan di lapangan, rasanya kurang lengkap jika euforia itu tidak menyentuh rumah para pemain keduabelas berdiri, bernyanyi untuk sang kebanggaan bersama yaitu tribun.

Di tribunlah, Bonek julukan pendukung Persebaya all out. Jika hujan mereka rela berbasah-basahan selain membasahi bibir kering saat berpuasa tentunya, jika harus berpanas-panasan dengan merelakan keringat bercucuranpun mereka terima, atau ketika harus berdesak-desakan dengan Bonek lainnya untuk bisa duduk atau berdiri di posisi strategis menurut mereka pun akan dilakukan, walaupun tak sedikit nggrundelan sana sini ketika beberapa orang naik turun tribun untuk mendapatkan tempat.

Khusus momen perayaan anniversary kemarin, penulis berpendapat tidak jauh berbeda dengan laga Homecoming Persebaya, hanya mungkin jika Homecoming adalah laga penanda kembalinya Persebaya dikancah liga dua dan memang dinanti-nanti oleh seluruh bonek bahkan warga Surabaya sendiri, untuk perayaan anniversary kemarin rohnya terasa berlipat-lipat. Berlipat-lipat euforianya, semangatnya, suasananya, momentumnya, bapernya, dan berujung pada sulitnya mereka move on beberapa waktu setelah perayaan anniversary selesai.

Membahas tribun, maka harus mendetail pula apa yang coba digali dari keistimewaan tribun untuk para pendukung dan tim tentunya. Jika para pemain fokus bermain di lapangan dengan berusaha semaksimal mungkin bahkan berani mati menurut kutipan pesan salah satu legenda Persebaya Rudy Keeltjes saat bertarung di lapangan hijau, maka porsi dari para pendukungnya adalah semaksimal pula untuk memberikan suguhan kreativitas aksi koreo, dan nyanyian atau chant semangat tanpa rasis. Diakui atau tidak, menurut pengakuan para legenda yang sempat penulis wawancarai, hadirnya Bonek dimanapun Persebaya berlaga selalu menambah semangat ngeyel pemain di lapangan. Bagaimana tidak, menurut pengakuan I Gusti Putu Yasa, mantan penjaga gawang Persebaya era 1980an, beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa Bonek saat itu memang suporter yang bernyali tinggi, tekad kuat, dan loyalitasnya tidak main-main untuk Green Force. Jika para pemain bermain jelek saat itu, maka Bonek akan berteriak dengan lantang di setiap tribun untuk menunjukkan kepada pemain bahwa “iki aku teko nggawe awakmu Persebaya, ojok kendur ojok lelah nggawe tampil sebaik mungkin nggawe pendukungmu” tetapi jika pemain bermain bagus maka Bonek akan memberikan aplaus sepanjang waktu saat pertandingan. Maka loyalitas dan ketulusan Bonek ini tetap telihat, terjaga, dan jauh lebih dewasa saat ini. Mereka memahami betul bagaimana makna dukungan nyata untuk kesebelasan, tanpa merugikan tim dengan denda yang sewaktu-waktu akan diterima oleh Persebaya, sejurus kemudian Bonek mulai berani menciptakan chant-chant penyemangat tanpa rasis untuk Persebaya.

Itu terlihat dan semakin kentara ketika momen anniversary kemarin. Babak pertama terlihat setiap tribun dengan semangat membawakan chant-chant Persebaya. Ya tidak sedikit terkadang kecolongan dengan nyanyian rasis yang untungnya tidak berlangsung lama, dan dapat dikendalikan lagi untuk fokus menyanyikan chant lainnya yang tidak berbau rasis. Memang terlihat ganjil sekali, ketika semangat untuk berubah dan mau menjadi suporter yang fanatik beretika atau fanatik dewasa harus berani mengalahkan diri sendiri untuk mau berubah.

Memasuki babak kedua. Penulis merasakan suasana yang jauh berbeda dari babak pertama. Jika sebelum babak pertama tidak sedikit penulis melihat dulur-dulur Bonek berurai air mata karena rasa haru dan sujud syukur bahwa perjuangan para pendahulu dan pejuang nekat yang sekarang mampu membawa Persebaya kembali berkompetisi, maka di babak kedua ini penulis merasakan dan melihat langsung, menjadi salah satu saksi dari ribuan Bonek lainnya bahwa antar tribun tetaplah SATOE BONEK SATOE, dan SADULURAN. Yang membedakan tribun hanyalah menurut sudut pandang masing-masing Bonek yang berada di tribun ini dan itu, sana dan sini, padahal jauh dari pemikiran yang sengaja membedakan, Bonek tetaplah suporter yang kompak dan solid.

Di pertengahan babak kedua, romantisme tribun yang penulis rasakan semakin terlihat ketika inisiatif untuk menggelorakan tribun dimulai dari tribun utara. Wall of death yang biasa dulur-dulur tribun utara lakukan kali ini dilakukan dengan mengajak tribun timur saling nyahut-menyahut (menimpali). Ajakan itu tidak berjalan dengan baik awalnya, karena dari kejauhan terlihat tribun timur juga sedang asik ngechant bareng. Baru ajakan yang ketiga dengan serentak tribun utara mengajak tribun timur melalui teriakan “timur timur timur timur timur” barulah romantisme itu dimulai. Atas komando Capo Ipul-Wakbreng dari Utara dan Dirijen Hamim Gimbal-Okto Tyson, nyanyian itu terlihat menyejukkan hati. Lalu wall of death kedua tribun utara mengajak penghuni tribun VIP, melihat ajakan tribun utara, para penghuni tribun VIP jelas tidak mau berdiam diri dan kalah dengan tribun timur, maka kedua kalinya, pribadi penulis salut melihat kekompakan tribun VIP yang notabene nya Bonek yang ingin menikmati permainan dengan asik dan santai. Lalu, wall of death ketiga tribun utara ini mengajak tribun selatan/kidul untuk bersuka cita dengan chant yang dinyanyikan bersama.sempat tiga kali lebih untuk bisa mengajak tribun kidul mau melakukan wall of death via LDR ini, karena setelah ditelisik, tribun kidul juga sedang melakukan koreo dan ngechant bersama, dan kor teriakan ajakan ke tribun kidul tidak langsung bisa ditimpali langsung, mengingat terhalang oleh jarak lapangan yang membentang tribun utara dan kidul. Penulis merasakan sendiri bagaimana romantisme tribun ini semakin membuat kami semua salut, karena teriakan chant dari tribun kidul melalui komando Ali Akbar jelas terdengar tak kalah keras dari tribun utara. Diakui atau tidak sekali lagi, penulis merasa beruntung bisa menjadi bagian dari perayaan anniversary Persebaya yang lalu. Momen romantisme tribun, ya memang sangat menyentuh hati dan pikiran kami.

Ah satu lagi, karena kami kedatangan tamu dari Persikmania, suporter Persik Kediri, untuk keempat kalinya penulis merasa bangga, bagaimana tidak bangga jika suporter tamu saja mampu menimpali ajakan untuk ngechant bersama melalui wall of death dan mereka hafal! Oh May God.

Kenapa berulang-ulang penulis selalu menyelipkan romantisme tribun? Yups, bagi penulis pendukung Persebaya bukan lagi suatu paksaan atau hal bodoh, bahkan menjadi Bonek atau Bonita pun bukanlah suatu kesalahan dan kampungan. Karena dari identitas tersebut kami paham, bahwa sejarah panjang Persebaya beserta perjuangan kami selama ini sepatutnya mampu kami jaga, bukan untuk mengubah sejarah, tetapi menjaganya dan mengedukasi lainnya untuk mau tau, mau peduli, mau perhatian, dan bangga menjadi pendukung PERSEBAYA. Romantisme tribun ini jelas tidak terlepas dari hal tersebut, karena bangganya menjadi Bonek dan Bonita, maka dihadapan Persebaya kita semua sama. PERSEBAYA tak pernah menanyakan bahkan mempermasalahkan apa pendidikan terakhirrmu, berasal dari kampung manakah kamu, seperti apa cara berpenampilanmu, dan dari suku atau ras apa kamu, tetapi Persebaya lah yang mampu menyadarkanmu, bahwa di dalam tribun pun tidak ada komunitas yang dibesarkan, tidak ada tribun yang dibangga-banggakan melebihi Tuhannya, karena Persebaya jauh lebih besar dari komunitas yang menjadi “kendaraanmu” mendukung Persebaya. Maka sewajarnya semua tribun mampu menghidupkan “tempatnya” berdiri, memberikan semangat yang tiada henti, saling mengingatkan bahwa rasis bukanlah hal yang harus diutamakan terus-menerus saat di dalam stadion, tetapi besarkan semangat dan nyanyian pendukung untuk kesebelasan kita.

Romantisme tribun.. penulis berharap bukan hanya untuk perayaan anniversary saja mampu kami rasakan dan kami lihat, tetapi semoga ketika liga kembali berjalan, romantisme antar tribun semakin menonjol dan menjadi tradisi di setiap laga Persebaya. Baik kandang atau tandang, baik laga resmi ataupun uji coba. Ya antar tribun, bukan (satu) tribun saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar