Jumat, 30 Juni 2017

PERSEBAYA 90 TAHUN (2): PERAYAAN DI LAPANGAN, DAN ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Masih tentang perayaan anniversary Persebaya yang ke 90 tahun. Masih dengan suasana yang sampai saat ini saya sering berkata dalam hati “shit aku sek gorong isok move on teko euforia mau bengi” saat jari-jari lentik ini asik scroll atas bawah di Instagram dan twitter, bahkan youtube melihat dokumentasi dari dulur-dulur Bonek suasana GBT malam itu. Melebihi kebanggaan merayakan anniversary bersama pasangan mungkin ya.

Setelah laga Legend Persebaya hijau dan putih usai, kedua tim baik Persebaya dan Persik sedang bersiap diri untuk pemanasan di lapangan, dan saya bersama Bonek lainnya memilih untuk duduk santai sambil berbagi lumpia dan air mineral gelasan satu sama lain menunggu kick off dimulai pukul 20.30 WIB.

Peluit tanda pertandingan dimulai telah ditiup, dan kami yang berada di lantai dua serentak memilih berdiri sambil ngechant dengan semangatnya. Dari setiap sudut tribun yang tadinya masih terlihat bolong-bolong, tidak terasa menjadi riuh dan full oleh ribuan Bonek yang memadati setiap tribun, terutama tribun ekonomi utara, timur, dan selatan. Suasana semakin semarak tatkala Rendy Irawan berhasil memasukkan bola ke gawang Persik dan gooooollll, nyanyian antar tribun semakin membahana di dalam GBT, dan tentunya semakin bersemangat untuk terus memberikan suntikan semangat melalui chant-chant Bonek.

Peluit babak pertama telah usai, menandakan akan ada jeda untuk para pemain beristirahat, dan kami juga bisa sedikit menselonjorkan kaki kami. Saat saya bersama lainnya memilih untuk turun dan pindah ke lantai satu, hiburan terus ada dan tidak berhenti begitu saja. Saya melihat puluhan Bonek dengan semangatnya bergotong-royong menyeret dan melebarkan kain besar dengan gambar logo Persebaya, memutar dan berlari-lari kecil agar kain besar tersebut mampu terlihat sempurna seperti yang direncanakan sejak awal. Sedangkan yang berada di tribun dengan asiknya menyalakan flare dan smoke bomb. Sudah lama saya tidak pernah melihat aksi tersebut, ya selain karena suasana yang berbeda, juga karena kreatifitas dulur-dulur Bonek yang semakin hari semakin keren untuk diapresiasi dengan baik.

Babak kedua dimulai, dapat saya simpulkan melalui dokumentasi dari video dan foto, terlihat jelas dulur-dulur Bonek sudah bersiap dengan flare ditangan masing-masing dan kembang api dari setiap tribun yang akan dinyalakan, serta paper roll yang akan dilemparkan ke arah lapangan. Permainan dibabak kedua semakin asik untuk diamati, tatkala Persik mampu menyamai kedudukan, tak ada rasa kecewa dari kami. Ya memang kami memaklumi ini bukan laga resmi yang akan mempengaruhi klasemen tim kami di grup, lagipula ini hiburan, yang tak lain bagian dari perayaan anniversary klub berjuluk Bajol Ijo ini.

Saat masing-masing tribun semakin bergelora dengan koreo, chant, dan aksi menyalakan flare, ada satu momen dari keseluruhan momen yang membuat saya, bahkan semua Bonek yang hadir tak akan pernah melupakannya. Ketika ajakan tribun utara untuk wall of death dari gate 4 ke gate 6, atau gate 4 ke gate 3, malam tadi untuk pertama kalinya saya mampu merasakan rasa haru ketika sahut-menyahut chant klasik yang sering dinyanyikan siapapun menjadi barang langka antara tribun utara dengan tribun timur, tribun utara dengan VIP, antara tribun utara dengan tribun selatan, bahkan antara tribun utara dengan gate 19 yang dipenuhi oleh suporter tamu Persikmania. Applaus yang tiada henti dan tawa bahagia mampu saya rekam dengan mata saya sendiri, bahwa satoe Bonek satoe dan kabeh dulur memang yang harus kami junjung tinggi bahkan menjadi prinsip kami untuk terus meningkatkan kreatifitas antar tribun tanpa mengutamakan gengsi tribun demi kepentingan pribadi.

Sesaat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang mempertemukan Persebaya dengan Persik Kediri, saat itu juga serentak perayaan anniversary Persebaya bukan hanya berada di lapangan, tetapi juga perayaan dari dulur-dulur Bonek yang kompak menyalakan flare, smoke bomb, dan kembang api menandai rasa syukur kami bahwa hingga detik ini, kami masih bisa bersama-sama dan merayakan usia klub kebanggaan warga Suroboyo. Nyanyian selama ulang tahun dari grup band Jamrud yang dinyanyikan seluruh Bonek menandai bagaimana perjalanan dan perjuangan jauh telah Persebaya dan Bonek lalui hingga mampu bertahan dan terus melangkah di usia 90 tahun ini.

Bukan usia yang masih muda lagi, tetapi tak serta merta membuat Persebaya menjadi besar kepala akan julukannya sebagai klub yang ditakuti sejak jaman Perserikatan. Perjalanan Persebaya yang dulunya sempat dipaksa mati, mengalami dualisme hingga membuat kami sering turun ke jalan, ke pengadilan, bahkan gruduk Jakarta dan bandung demi mendapatkan pengakuan status Persebaya untuk bisa berkompetisi lagi semakin membuat kami menyadari bahwa sejarah memang hanya dibuat oleh para pemenang, para pejuang, pejuang sing tatak dan bernyali, dan malam tadi, para pejuang yang juga pemenang itu tumpah ruah dari tribun berlari turun ke lapangan. Entah untuk mengejar pemain idola demi mendapatkan tanda tangan, jersey, berfoto bareng, atau berlari-lari ke arah tribun lainnya sambil mengibar-ngibarkan giant flag mereka..ahh momen yang saya rasa akan selalu berbeda setiap tahunnya dari perayaan anniversary Persebaya kedepannya, bahkan turunnya ratusan bahkan ribuan Bonek ke lapangan sudah jarang saya lihat di GBT.

Perayaan anniversary Persebaya di lapangan tadi malam sangatlah berkesan di hati siapapun, bukan hanya kami sebagai suporter, tetapi juga pemain, manajemen, keluarga pemain, dan official, tentunya official yang saya kagumi sejak saya mendatangi kediaman beliau dan berhasil mendengarkan kenangan manisnya saat di Persebaya ataupun saat Persebaya belum bisa berkompetisi lagi, beliau adalah Madra’i.

Usia madra’i mungkin belum setua usia Persebaya, tetapi semangat, keyakinan, dan keloyalan beliau menjadi salah satu contoh bagaimana menjadi individu yang mencintai Persebaya dengan tulus, tanpa ada tedeng ali-ali kepentingan tertentu tetaplah berdiri, berada disamping kesayanganmu, yaitu Persebaya. Mengingat dahulu saat Persebaya mengalami dualisme, hingga aksi boikot menjadi penanda Persebaya tak bisa berkompetisi beberapa musim, Madra’i dengan setia tetap memilih bertahan di Persebaya walaupun beliau tahu bahwa memilih menunggu pulihnya Persebaya yang tak tahu kapan akan berakhir, gaji belum terbayar lunas, dan kesehatan yang tetap menjadi perhatiannya di usia senja, beliau tak pernah mundur sedikitpun untuk berpaling dan meninggalkan Persebaya. Maka jadikan pilihan dan aksi nyata Madra’i sebagai cambuk semangat kita untuk tetap menjadikan Persebaya kebanggaan bersama, yang sepatutnya tidak menjadi kendaraan yang membawa kita mencapai kepentingan pribadi dan merugikan kebanggaan ini.

Persebaya, kau lebih besar dan sangar dari yang kukira, tetapi aku tak pernah takut dan ragu untuk mendukungmu. Karena kaulah, aku mengenal arti perjuangan, persaudaraan, kesetiaan, dan kepercayaan akan dukungan nyata yang tak pernah membuatku menyesal telah mendukungmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar