Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)
Masih tentang perayaan
anniversary Persebaya yang ke 90 tahun. Masih dengan suasana yang sampai saat
ini saya sering berkata dalam hati “shit aku sek gorong isok move on teko
euforia mau bengi” saat jari-jari lentik ini asik scroll atas bawah di
Instagram dan twitter, bahkan youtube melihat dokumentasi dari dulur-dulur
Bonek suasana GBT malam itu. Melebihi kebanggaan merayakan anniversary bersama
pasangan mungkin ya.
Setelah laga Legend Persebaya
hijau dan putih usai, kedua tim baik Persebaya dan Persik sedang bersiap diri
untuk pemanasan di lapangan, dan saya bersama Bonek lainnya memilih untuk duduk
santai sambil berbagi lumpia dan air mineral gelasan satu sama lain menunggu
kick off dimulai pukul 20.30 WIB.
Peluit tanda
pertandingan dimulai telah ditiup, dan kami yang berada di lantai dua serentak
memilih berdiri sambil ngechant dengan semangatnya. Dari setiap sudut tribun
yang tadinya masih terlihat bolong-bolong, tidak terasa menjadi riuh dan full
oleh ribuan Bonek yang memadati setiap tribun, terutama tribun ekonomi utara,
timur, dan selatan. Suasana semakin semarak tatkala Rendy Irawan berhasil
memasukkan bola ke gawang Persik dan gooooollll, nyanyian antar tribun semakin
membahana di dalam GBT, dan tentunya semakin bersemangat untuk terus memberikan
suntikan semangat melalui chant-chant Bonek.
Peluit babak pertama
telah usai, menandakan akan ada jeda untuk para pemain beristirahat, dan kami
juga bisa sedikit menselonjorkan kaki kami. Saat saya bersama lainnya memilih
untuk turun dan pindah ke lantai satu, hiburan terus ada dan tidak berhenti
begitu saja. Saya melihat puluhan Bonek dengan semangatnya bergotong-royong
menyeret dan melebarkan kain besar dengan gambar logo Persebaya, memutar dan
berlari-lari kecil agar kain besar tersebut mampu terlihat sempurna seperti
yang direncanakan sejak awal. Sedangkan yang berada di tribun dengan asiknya
menyalakan flare dan smoke bomb. Sudah lama saya tidak pernah melihat aksi
tersebut, ya selain karena suasana yang berbeda, juga karena kreatifitas
dulur-dulur Bonek yang semakin hari semakin keren untuk diapresiasi dengan
baik.
Babak kedua dimulai,
dapat saya simpulkan melalui dokumentasi dari video dan foto, terlihat jelas
dulur-dulur Bonek sudah bersiap dengan flare ditangan masing-masing dan kembang
api dari setiap tribun yang akan dinyalakan, serta paper roll yang akan
dilemparkan ke arah lapangan. Permainan dibabak kedua semakin asik untuk
diamati, tatkala Persik mampu menyamai kedudukan, tak ada rasa kecewa dari
kami. Ya memang kami memaklumi ini bukan laga resmi yang akan mempengaruhi
klasemen tim kami di grup, lagipula ini hiburan, yang tak lain bagian dari
perayaan anniversary klub berjuluk Bajol Ijo ini.
Saat masing-masing
tribun semakin bergelora dengan koreo, chant, dan aksi menyalakan flare, ada
satu momen dari keseluruhan momen yang membuat saya, bahkan semua Bonek yang
hadir tak akan pernah melupakannya. Ketika ajakan tribun utara untuk wall of
death dari gate 4 ke gate 6, atau gate 4 ke gate 3, malam tadi untuk pertama
kalinya saya mampu merasakan rasa haru ketika sahut-menyahut chant klasik yang
sering dinyanyikan siapapun menjadi barang langka antara tribun utara dengan
tribun timur, tribun utara dengan VIP, antara tribun utara dengan tribun
selatan, bahkan antara tribun utara dengan gate 19 yang dipenuhi oleh suporter
tamu Persikmania. Applaus yang tiada henti dan tawa bahagia mampu saya rekam
dengan mata saya sendiri, bahwa satoe Bonek satoe dan kabeh dulur memang yang
harus kami junjung tinggi bahkan menjadi prinsip kami untuk terus meningkatkan
kreatifitas antar tribun tanpa mengutamakan gengsi tribun demi kepentingan
pribadi.
Sesaat setelah wasit
meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang mempertemukan Persebaya dengan
Persik Kediri, saat itu juga serentak perayaan anniversary Persebaya bukan
hanya berada di lapangan, tetapi juga perayaan dari dulur-dulur Bonek yang
kompak menyalakan flare, smoke bomb, dan kembang api menandai rasa syukur kami
bahwa hingga detik ini, kami masih bisa bersama-sama dan merayakan usia klub
kebanggaan warga Suroboyo. Nyanyian selama ulang tahun dari grup band Jamrud
yang dinyanyikan seluruh Bonek menandai bagaimana perjalanan dan perjuangan
jauh telah Persebaya dan Bonek lalui hingga mampu bertahan dan terus melangkah
di usia 90 tahun ini.
Bukan usia yang masih
muda lagi, tetapi tak serta merta membuat Persebaya menjadi besar kepala akan
julukannya sebagai klub yang ditakuti sejak jaman Perserikatan. Perjalanan
Persebaya yang dulunya sempat dipaksa mati, mengalami dualisme hingga membuat
kami sering turun ke jalan, ke pengadilan, bahkan gruduk Jakarta dan bandung
demi mendapatkan pengakuan status Persebaya untuk bisa berkompetisi lagi
semakin membuat kami menyadari bahwa sejarah memang hanya dibuat oleh para
pemenang, para pejuang, pejuang sing tatak dan bernyali, dan malam tadi, para
pejuang yang juga pemenang itu tumpah ruah dari tribun berlari turun ke
lapangan. Entah untuk mengejar pemain idola demi mendapatkan tanda tangan,
jersey, berfoto bareng, atau berlari-lari ke arah tribun lainnya sambil
mengibar-ngibarkan giant flag
mereka..ahh momen yang saya rasa akan selalu berbeda setiap tahunnya dari
perayaan anniversary Persebaya kedepannya, bahkan turunnya ratusan bahkan
ribuan Bonek ke lapangan sudah jarang saya lihat di GBT.
Perayaan anniversary
Persebaya di lapangan tadi malam sangatlah berkesan di hati siapapun, bukan
hanya kami sebagai suporter, tetapi juga pemain, manajemen, keluarga pemain,
dan official, tentunya official yang saya kagumi sejak saya mendatangi kediaman
beliau dan berhasil mendengarkan kenangan manisnya saat di Persebaya ataupun
saat Persebaya belum bisa berkompetisi lagi, beliau adalah Madra’i.
Usia madra’i mungkin
belum setua usia Persebaya, tetapi semangat, keyakinan, dan keloyalan beliau
menjadi salah satu contoh bagaimana menjadi individu yang mencintai Persebaya
dengan tulus, tanpa ada tedeng ali-ali kepentingan tertentu tetaplah berdiri,
berada disamping kesayanganmu, yaitu Persebaya. Mengingat dahulu saat Persebaya
mengalami dualisme, hingga aksi boikot menjadi penanda Persebaya tak bisa
berkompetisi beberapa musim, Madra’i dengan setia tetap memilih bertahan di
Persebaya walaupun beliau tahu bahwa memilih menunggu pulihnya Persebaya yang
tak tahu kapan akan berakhir, gaji belum terbayar lunas, dan kesehatan yang
tetap menjadi perhatiannya di usia senja, beliau tak pernah mundur sedikitpun
untuk berpaling dan meninggalkan Persebaya. Maka jadikan pilihan dan aksi nyata
Madra’i sebagai cambuk semangat kita untuk tetap menjadikan Persebaya
kebanggaan bersama, yang sepatutnya tidak menjadi kendaraan yang membawa kita
mencapai kepentingan pribadi dan merugikan kebanggaan ini.
Persebaya, kau lebih
besar dan sangar dari yang kukira, tetapi aku tak pernah takut dan ragu untuk
mendukungmu. Karena kaulah, aku mengenal arti perjuangan, persaudaraan,
kesetiaan, dan kepercayaan akan dukungan nyata yang tak pernah membuatku
menyesal telah mendukungmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar