Kamis, 30 April 2015

KOTA SEPAK BOLA ITU BERNAMA SURABAYA

Oleh:
Ahmad Arif Chusnuddin


Perkembangan Sepakbola di Surabaya

Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat saat ini. Hampir bisa dipastikan masyarakat di belahan dunia mengenal olahraga sepakbola. Seandainya sebagian tidak menggemari atau dapat memainkannya, minimal mereka mengetahui tentang keberadaan olahraga ini. Sehingga tak dapat dipungkiri lagi bahwa sepakbola adalah olahraga yang terpopuler di dunia. Semua kalangan baik tua dan muda, bahkan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan sangat menggemari olahraga ini.
Selain itu, sepakbola sendiri mampu mendobrak batasan sekat-sekat sosial dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari kalangan proletar hingga para borjuis pun menikmati sepakbola. Mendiang Nelson Mandela pernah mengatakan bahwasanya “Sepakbola adalah olahraga yang mampu menyatukan seluruh umat manusia”. Banyak hal yang terjadi, memang sepakbola tak bisa dipisahkan dari drama, selebrasi, sensasi, konflik, intrik, dan tragedi silih berganti menghiasi. Namun justru itulah yang membuat permainan ini lebih berwarna dibanding cabang olahraga lain. Tak berlebihan jika Richard Giullianotti memberi judul bukunya “Sepakbola : Pesona Sihir Permainan Global”.
Di Indonesia sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu negara yang memiliki daya tarik ataupun minat sepakbola yang besar. Masuknya sepakbola di Indonesia tidak bisa dilepaskan akibat kolonialisme bangsa Eropa. Tidak hanya ingin mengekploitasi sumber daya yang ada di Indonesia, tetapi juga membawa pengaruh kebudayaan. Salah satunya adalah pengaruh budaya olahraga. Di antara olahraga yang masuk di Indonesia, sepakbola merupakan salah satu olahraga yang sangat terkenal dan luas jarak penyebarannya. Sudah banyak orang-orang Indonesia yang memainkan sepakbola. Fenomena ini dapat dilihat dengan banyaknya bond-bond yang didirikan di daerah-daerah. Baik itu milik Belanda, masyarakat Tionghoa maupun milik bumiputera. Salah satu daerahnya yaitu Surabaya.
Salah satu barometer sepakbola di Indonesia adalah kota Surabaya. Hal tersebut tidak bisa di lepaskan dari sederet prestasi maupun kontribusi yang diberikan terhadap persepakbolaan Nasional. Di awali oleh seorang siswa asal HBS, John Edgar. Pada 1 September 1885, Jhon Edgar mendirikan klub sepak bola Victoria. Jhon Edgar selain menjadi pendiri klub juga merangkap sebagai kapten kesebelasan Victoria. Setelah itu mulai bermunculan bond-bond yang ada di Surabaya. SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond), Tionghoa Surabaya, dan SIVB (Soerabhaiasce Indonesische Voetbal Bond). Ketiga klub tersebut memberikan kontribusi besar terhadap wadah organisasi yang menaunginya. SVB kepada NIVB, Tionghoa Surabaya kepada HNVB dan SIVB kepada PSSI.
Pasca kedatangan Jepang, klub yang tersisa hanya milik pribumi yang kemudian berganti nama dari SIVB menjadi Persibaja dan berubah menjadi Persebaya. Sedangkan untuk klub Tionghoa Surabaya menjadi anggota klub internal Persebaya. Kompetisi sepakbola Nasional sempat vakum, bahkan kompetisi pertama pasca kemerdekaan Indonesia kembali digelar pada tahun 1951. Persebaya keluar menjadi Juara dua musim berturut-turut 1951 dan 1952. Selanjutnya Persebaya hanya mampu menjadi Runner-Up hingga akhirnya merasakan kembali juara pada tahun 1978 dan 1987/1988. Itu merupakan catatan juara Persebaya di kompetisi Perserikatan yang diadakan PSSI. Total Persebaya mampu keluar menjadi juara kompetisi nasional sebanyak 4 kali pada tahun 1951, 1952, 1978, 1987/1988 dan menjadi Runner-up sebanyak 7 kali pada tahun 1965,1967,1971,1973,1976/1977,1986/1987, 1990.
Semakin marak dan menggeliatnya persepakbolaan nasional dan, PSSI sebagai organisasi sepakbola nasional membentuk kompetisi semiprofesional pada tahun 1979. Muncul tim baru dari Surabaya, NIAC Mitra dan Asyabbab Salim Grup. Selain Galatama, PSSI juga membentuk kompetisi sepakbola wanita yang diberi nama Galanita. Surabaya pun juga memiliki tim sepakbola wanita yang didirikan pada tahun 1977 dan diberi nama Puteri Puspita. Klub-klub asal Surabaya ini juga menjadi perhatian dunia. Persebaya pernah bertanding melawan tim-tim Eropa antara lain : Lokomotiv Moscow, Sturm Grasz, Grasshoper, Salzburg, Stade de Reims,  Ajax Amsterdam, PSV Eindhoven, AC Milan, dan terakhir klub Eropa yang bertanding melawan Persebaya adalah Queen Park Rangers. Selain tim asal Eropa, ada beberapa timnas negara luar bertanding melawan Persebaya. Timnas Olimpiade Yugoslavia, Timnas Malaysia, Timnas Mozambique, Timnas Uruguay, Timnas Thailand, Timnas Korea Selatan, Timnas Jepang. NIAC Mitra pun juga pernah bertanding melawan Arsenal. Serta menjadi juara di kompetisi Aga Khan Gold Cup pada tahun 1979 di Bangladesh. Prestasi NIAC Mitra di kompetisi Galatama tercatat kelur sebagai juara sebanyak 3 kali pada tahun 1980-1982, 1982/1983, 1987/1988 dan menjadi Runner-up pada tahun 1988/1989. Namun, NIAC Mitra resmi dibubarkan dan menarik diri dari kompetisi Galatama yang digelar oleh PSSI pada tahun 1990 karena menganggap kebijakan yang dikeluarkan oleh PSSI tidak relevan. Pasca dibubarkan NIAC Mitra, tuntutan dari masyarakat Surabaya supaya NIAC Mitra tetap eksis tersalurkan setelah pihak Jawa Pos masuk dan kemudian mengganti nama NIAC Mitra menjadi Mitra Surabaya. ketika kompetisi Perserikatan dilebur dengan Galatama pada tahun 1994. Persebaya baru mampu juara pada tahun 1997 dan 2004. Tercatat sebagai tim pertama yang mampu menjuarai dua kali Liga Indonesia. Sedangkan Mitra Surabaya hanya mampu eksis sampai musim kompetisi 1998/1999 setelah terdegradasi ke Divisi Satu.
Surabaya menjadi salah satu kota penghasil pemain sepak bola yang handal dan menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia. Beberapa pemain sepakbola terkenal Surabaya dari lintas generasi antara lain Dr Nawir, Liem Tiong Hoo, Jacob Sihasale, Abdul kadir, Andjiek, Hamid Asnan, Rudy Keltjes, Didiek Nurhadi, Rusdi Bahalwan, Joko Malis, Mustaqim, Putu Yasa, Yusuf Ekodono, Bejo Sugiantoro, Eri Irianto, Anang Ma’ruf, Aji Santoso, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Mursyid Effendi, Mat Halil, Andik Vermansyah, Muhammad Taufiq, Fastabiqul Khoirot, hingga yang terbaru saat ini Evan Dimas Darmono. Selain itu sepak bola Surabaya juga sangat identik dengan suporter fanatiknya yang dikenal dengan nama Bonek (Bondo Nekad).

Suporter Sepakbola di Surabaya 
Suporter merupakan salah satu faktor penting dalam sepak bola. Fungsi dan peranan suporter sebagai pemberi dukungan kepada klub. kehadiran suporter dalam pertandingan dapat memberikan suntikan semangat maupun motivasi tersendiri bagi para pemain yang sedang bertanding. Suporter juga berfungsi untuk menjatuhkan mental para pemain lawan. Sepakbola tanpa supporter bagaikan sayur tanpa garam, terasa hambar. Suporter dan sepak bola bisa dikatakan muncul beriringan. Dimana ada sepakbola disitu pasti ada suporter.
Klub sepakbola dan suporter itu bersifat simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu sama lain. Suporter datang untuk memberikan dukungan terhadap klub kebanggaanya. Dukungan yang diberikan oleh suporter menjadi motivasi tersendiri bagi para pemainnya. Mereka akan lebih bersemangat dan memberikan hasil yang bisa membuat para suporter bangga. Bahkan fanatisme seorang suporter mengatakan bahwa sepakbola adalah agama kedua.
Teori dari Bennedict Anderson tentang imagined community, sebuah bangsa, sebuah komunitas, sekecil apa pun, sebenarnya adalah soal ”terbayangkan” (imagined) karena pada dasarnya kita tidak pernah kenal, bertemu, atau tahu-menahu sebagian besar anggota komunitas itu, terlebih kalau diluaskan sebagai bangsa. Dalam hal ini, suatu klub bisa di ibaratkan sebagai suatu bangsa. Yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam golongan suporter. Tidak peduli dari kalangan kelas rendah, menengah ataupun atas. Mungkin juga tidak peduli dari agama dan ras yang berbeda. Tapi para suporter itu bisa bersatu dalam lingkup yang lebih besar yaitu klub yang di gemarinya. Dengan adanya fanatisme terhadap klub itulah yang kemudian mewujudkan adanya rasa solidaritas.
Ketika berbicara tentang fanatisme dan solidaritas, maka Indonesia tidak bisa di kesampingkan. Suporter di Indonesia merupakan perwujudan dari representasi kebudayaan masyarakat Indonesia, seperti halnya yang bisa dengan jelas terlihat di Jawa. Dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri. Termasuk jika klub kebanggaan mereka kalah. Karena pada dasarnya itulah sifat orang Indonesia. Tingginya rasa memilikki serta sifat kedaerahannya. Hal semacam ini juga tidak jarang memicu terjadinya gesekan-gesekan antar suporter. Karena tidak sedikit suporter itu terlibat dalam aksi keributan antar sesama suporter. Namun, keributan itu tidak datang dari satu pihak suporter yang sama, melainkan dari pihak suporter rival.
Berbicara tentang suporter di Indonesia, Suporter Persebaya, merupakan salah satu dari kelompok suporter yang ada di Indonesia. Suporter Persebaya sangatlah militan dan mempunyai daya juang yang tinggi. Erat kaitannya dengan sejarah serta karakteristik yang melekat pada masyarakat Surabaya. Masyarakat Surabaya yang ketika zaman penjajahan berani melawan dan berhasil mengusir para penjajah dari kota mereka dengan modal keberanian serta tekad yang kuat. Muncul setelah itu sebuah istilah “Bonek” (Bondho Nekat), yang memiliki makna hanya bermodalkan semangat atau tingkat perjuangan yang tinggi untuk sebuah kemenangan.
Militansi yang dimiliki oleh suporter Persebaya, Bonek dapat dilihat dari Dimana persebaya bermain mereka selalu menemani. Suporter Persebaya tidak hanya berasal dari kalangan menengah kebawah, melainkan menembus semua lapisan masyarakat. Perjalanan panjang serta dinamika-dinamika yang terjadi pada suporter Persebaya ini juga tidak bisa dilepaskan dengan karakter masyarakat Surabaya. yang memilikki sikap egaliter, tegas dan apa adanya. Sikap seperti itulah yang kemudian juga menyalur pada jiwa para suporter Persebaya. Para suporter menolak hal-hal yang mencederai nilai-nilai sportivitas. Suporter Persebaya juga tidak segan mencaci maki pemain Persebaya ketika bermain jelek. Akan tetapi, kekecewaan para suporter itu hanya sebagai kritik buat klub agar bisa memberikan yang terbaik untuk suporternya.
Selain itu, suporter Persebaya mempunyai semangat, solidaritas antar sesama suporter Persebaya dan rasa memilikki terhadap Persebaya sangatlah tinggi. Semangat positif, solidaritas dan keinginan yang kuat  dalam mendukung Persebaya ini sudah ada sejak masa kolonial namun, istilah ‘Bonek” itu baru melekat pada Suporter Persebaya ketika Persebaya berhasil menjuarai kompetisi Perserikatan tahun 1987/1988 di Senayan Jakarta. Dimana pada waktu itu rombongan massa yang begitu besar dari Jawa Timur, khususnya Surabaya berangkat ke Jakarta untuk mendukung Persebaya. Dengan semangat itulah yang kemudian melekatkan istilah Bondho Nekat (Bonek) pada suporter Persebaya.
Namun, semangat dan militansi suporter Persebaya ini ketika memasuki dekade tahun 90-an keatas bisa dikatakan kelam dan tidak dibarengi semangat positif para pendahulunya. Ada anggapan bahwasanya terputus dan tidak adanya sinergisitas antara generasi sebelumnya dengan generasi selanjutnya. Jika di Inggris, masa kelam suporter itu terjadi ketika tahun 1960 hingga 1980-an yang biasa di sebut dengan ‘Hooliganisme’. Di Indonesia justru terjadi pada tahun 1990-an keatas. Banyak tindakan-tindakan yang tidak seharusnya di lakukan oleh seorang suporter. Tindak kriminal serta kekerasan sering terjadi pada masa itu. Selain itu, berbagai media massa maupun elektronik juga berperan di dalamnya. Yang justru memperkeruh keadaan. Pemberitaan yang tidak seimbang dan sering menjudge suporter Persebaya sebagai suporter paling rusuh dan anarkis. Anehnya lagi, media akan sangat senang jika ada aktivitas ataupun tindakan negatif dari para suporter. Bahkan akan menjadi headline news dan pemberitaannya akan terus menerus. Dari sinilah, suporter Persebaya yang terkenal dengan sebutan Bonek itupun dicap sebagai sampah masyarakat. Bahkan banyak yang membenci. Akan tetapi, tidak bisa di generalisasikan bahwa itu semua merupakan Bonek. Seorang Gubernur Jawa Timur pada waktu itu, Basofi Soedirman mengatakan itu bukan Bonek tapi itu Boling (Bondho Maling). Dan satu hal lagi yang menjadi sebuah kisah atau cerita unik dari suporter Persebaya ini adalah ketika para suporter dipulangkan menggunakan kapal perang dari Jakarta ke Surabaya. Hal itu dikarenakan dikhawatirkan akan adanya bentrokan antara suporter Persebaya dengan suporter Semarang. Karena pada waktu itu hubungan antara kedua suporter tersebut tidak harmonis seperti yang terjadi pada saat ini. Pemulangan rombongan suporter dengan menggunakan kapal perang ini bisa dikatakan merupakan satu-satunya di Indonesia.
Sepakbola satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kota Surabaya. Surabaya tetap eksis menjadi salah satu kota penghasil pemain berkelas nasional dan Persebaya selalu diperhitungkan keberadaannya dalam setiap kompetisi yang diikutinya. Bonek, suporter Persebaya yang memiliki semangat, militansi, loyalitas tinggi merupakan salah satu suporter besar yang ada di Indonesia. Maka, dengan berkaca pada sejarah yang ada di kota Surabaya dan begitu besarnya animo masyarakat, salahkah jika menyebut kota sepakbola itu bernama Surabaya?

Daftar Pustaka:
Agus Salim, Buku Pintar Sepakbola, (Bandung: Penerbit Jembar 2007), Hlm. 9
Indische Verslag,1932, Hlm. 266
Bond sebutan lain klub atau tim dalam bahasa Belanda
As’ad Syamsul Arifin  “Surabaya : Kota Sepak Bola Tahun 1900-1942” (Skripsi)
R.N Bayu Aji, Tionghoa Surabaya Dalam Sepakbola (Yogyakarta : Penerbit Ombak 2010), Hlm 70
Jemmy H Mubarak, “Perkembangan SIVB hingga Persebaya 1927-1978”. (Skripsi )
Devana Bramantyo, “Dari NIAC Mitra Hingga Mitra Surabaya: Pasang Surut Sepak Bola Di Surabaya Tahun 1979-1990” (Skripsi )
Freek Colombijn, “View from The Priphery: Football in Indonesia”.(1999).
Des Alwi, Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, (Jakarta, 2011), Hlm. 105
Rangga Agnibaya “Kekerasan Simbolik Media Massa Pada Pemberitaan Bonek : Critical Discourse Analysis Berita Media”. (tesis)


Jumat, 24 April 2015