Rabu, 29 November 2017

Buat Cak Jhonerly Simanjuntak

"Cak, PERSEBAYA ne awakdewe wes munggah Liga 1 taun ngarep & mene pertandingan final!"

Beliau tidak pernah memamerkan, mengagungkan, bahkan mengharapkan ditakuti orang lain dengan nama kebesarannya.

Beliau bahkan tidak jarang membiasakan berbahasa halus dengan orang-orang disekitarnya yang bahkan lebih muda darinya.

Beliau tidak pernah mengharapkan caranya untuk berjuang mendampingi PERSEBAYA berbalas dengan gila kehormatan akan posisinya yang menjadi penggerak massa Bonek selama ini.

Beliau yang tak lagi muda, tetap berapi-api tatkala sang kebanggaan dizhalimi, atau yang ringan hati untuk membantu sesama dulur Bonek yang terkena musibah.

Bersama Bonek Campus, beliau salah satu tetuah yang tidaK jarang bersinggungan dengan cara pandang, ide, dan pilihan kami yang berbeda dan berlawanan. Tetapi jauh dari perbedaan tersebut, beliau mengajarkan kami bahwa untuk menjadi suporter yang sesungguhnya haruslah tetap loyal, kritis dan tidak pernah mundur apapun yang terjadi esok hari.

Dan sekarang, untuk beberapa waktu kami harus bersabar menunggu beliau hadir kembali diantara ratusan, ribuan bahkan jutaan Bonek yang selalu mendampingi Persebaya kemanapun berada.

Teruntuk cak Jhoner, Persebaya sing mbien awakdewe perjuangno bareng, Persebaya sing awakdewe belo bareng, mene wes main pertandingan final lho cak dan taun ngarep wes pasti main nang Liga 1 :")

Doa dan harapan kami semoga sampean tetap sehat, dan militan walaupun tak lagi dalam satu tempat yang sama.

Kami bersamamu cak ner! :(

by: Redaksi Bonek Campus
foto: instagram @BonekCampus

Senin, 27 November 2017

Surat Buat Walikota

Buat, Ibu Walikota...

Sebelumnya ijinkan saya memperkenalkan diri, sebagai seorang Bonek, dan juga berKTP Surabaya. Kota yang panjenangan pimpin.

Ditengah kesibukan ibu sebagai walikota, dalam tugas-tugas kepemerintahan, dan masih harus ngurusi hal-hal teknis seperti terlibat langsung pengaturan lalu lintas / seperti yang lagi viral mengatur operasi "pengusiran" banjir. Memang sepakat jika ibu dijuluki "iron lady"

Dan karna didepan, saya memperkenalkan diri sebagai bonek, yang tentunya supporter Persebaya. Ijinkan saya mewakili dulur-dulur Bonek mengabarkan kepada ibu, jika Persebaya masuk final buk;) Persebaya telah lolos, dan kembali ke kasta tertinggi liga.

Persebaya Kita. Persebaya yang bukan hanya membawa nama Surabaya, tapi lebih jauh, Persebaya adalah satu dari sekian banyak warisan / aset berharga kota yang harus dijaga.

Ibu yang seperti kita tau, pernah mendeklarasikan diri sebagai "ibunya Bonek" dan sayangnya peran itu belum dapat ibu mainkan dengan baik:)

Saya, tak hendak menyalahkan ibu. Mungkin ibu punya banyak sekali alasan kenapa anggapan itu bisa muncul. Ntah kesibukan ibu, ntah takut UU SKN no 3 th 2005 atau sebenarnya ibu memilih menjadi seorang ibu yang lebih suka mendoakan dalam diam, sembari memberi kebebasan anak-anaknya? atau malah sebenarnya alasannya sederhana, karna ibu tak suka & paham sepakbola?

Seorang ibu, menurut saya memang tak harus menyukai apa yang disukai anak-anaknya. Tapi seorang ibu setidaknya mau mencari tau kenapa yang dianggap hanya tim sepakbola saja, sampai bisa membuat sang anak rela mengorbankan semua untuknya.

Ibu seharusnya juga berterimakasih, karena Persebaya, kami semua masih mau srawung, srawung yang sesungguhnya, lahir dari dalam hati, bukan dibuat-buat oleh birokrasi.

Kami yang tanpa perlu dikomandoi akan rela saling berbagi makanan,
Kami ditengah individualitas efek kemajuan kota,  masih menjaga kultur saling sapa meski tak saling kenal, tak peduli kasta, tak peduli golongan.

Maafkan, kami yang memang belum bisa jadi anak baik, tapi satu hal bu, kami sudah & akan terus menuju kearah sana. Dan itu karna kecintaan kami pada Persebaya itu sendiri!

Kecintaan kami yang menumbuhkan kesadaran kolektif untuk jadi lebih baik, menjaga sikap, baik saat di Surabaya sendiri, lebih-lebih di kota orang. Kami tak mau, menyulitkan Persebaya karna ulah kami.

Meski tak dapat dipungkiri, masih ada segelintir dari kami yang belum memiliki kesadaran tersebut. Semua butuh proses.

Besok adalah laga terakhir Persebaya di Liga 2. Temen-temen Bonek juga secara mandiri melalui transportasi apapun, sudah & sedang perjalanan ke kota Bandung untuk mendukung Persebaya di laga Final! Laga yang tentunya jadi pusat perhatian kancah sepakbola Indonesia.
Doakan, Persebaya kita menang ya bu!

Karna sejatinya perhatian seorang ibu itu luas, tak terhingga bentuknya. Jangan dipersempit hanya soal materil, uang, atau fasilitas.

Bisa lewat doa, bisa lewat hal-hal sesederhana mengucapkan
"ati-ati dijalan ya nak"
"tak dungakno selamet, mugo-mugo juara"
atau ucapan "selamat ya le atas ...."

Terakhir, karna ibu sering bilang takut dihukum, karna udah ada aturan larangan kepala daerah mencampuri urusan olahraga profesional.

Saran saja, mungkin ibu hanya perlu membedakan antara Manajemen Tim sebagai pengelola dengan Persebaya sebagai asset kota, sebagai salah satu kebanggan kota yang harus kita jaga bersama:)

sumber: Redaksi Bonek Campus

Jumat, 22 September 2017

Profil Bonek Campus STIESIA

Oleh : Bonek STIESIA 

BONEK STIESIA atau lebih mudahnya dipanggil BS (red: singkatan dari BONEK STIESIA) sebetulnya telah lahir atau terbentuk saat periode tahun 2010 oleh angkatan lama. Namun dikarenakan pada saat itu, struktur dan anggota belum jelas, maka pada tahun 2011 harus putus di tengah jalan. Selang beberapa tahun kemudian yakni di tahun 2016 ada 8 mahasiswa, 1 mahasiswi dari stiesia memiliki keinginan yang sama untuk kembali membangun BONEK STIESIA. 

Pada tanggal 17 Desember 2016, pembentukan pun terjadi dengan sangat sederhana, berawal dari secangkir kopi, di sebuah warkop belakang kampus. Kami berembuk bersama, dan akhirnya sepakat untuk membangun Bonek Stiesia kembali. Kami 8 mahasiswa (kebetulan 1 mahasiswi tidak bisa hadir) sangat antusias untuk membicarakan apa yang kita ingkinkan bersama diselingi canda tawa yang hangat.

First Meet 
Pertemuan ini yang bisa dibilang tombak awal Bonek Stiesia, kemudian disepakati bersama sebagai awal terbentuknya Bonek Stiesia yakni tanggal 17 Desember 2017 dan menyepakati nama awal kami yaitu “CEMARA TIFOSI” (nama awal BONEK STIESIA sebelum berubah). Kami juga sepakat, akan segera melakukan perekrutan anggota baru. Yang nantinya, setiap anggota baru harus mengikuti kopdar 1x baru bisa  resmi menjadi anggota. 

Alasan kami saat membentuk BONEK STIESIA adalah untuk memberi wadah sesama pecinta PERSEBAYA yang tergabung dalam mahasiswa/I kampus Stiesia, yang kedua tentunya mencoba merubah image bonek dengan hal-hal sederhana yang bernilai positif, karena saat itu image bonek dimata masyarakat sedikit tidak baik. 
Kopdar Awal 

Pada awal tahun tepatnya 27 januari 2017, dengan kekuatan social media, kopdar awal kami dihadiri oleh 17  anggota saat itu. Dan seiring berjalannya waktu dengan bertambahnya anggota kami, ada usulan dari anggota dan juga pihak luar yang bisa dibilang orang2 yang dihormati atau dituakan oleh para bonek untuk merubah nama "Cemara Tifosi" 

Akhirnya setelah melalui diskusi yang sangat panjang dan penuh pertimbangan. Kami sepakat secara resmi mengganti nama serta logo dengan segala konsekuensinya, dari yang awalnya CEMARA TIFOSI berevolusi menjadi BONEK STIESIA.

Perubahan Logo
Seiring berjalannya waktu anggota kami terus bertambah dan hinggga sekarang mencapai 32 anggota resmi (per 25 agustus 2017). Bonek Stiesia hingga saat ini memiliki dua official account social media antara lain instagram : Bonek Stiesia twitter : @bonekstiesia

Respon warga kampus terhadap terbentuknya BONEK STIESIA sampai saat ini terbilang positif. Bahkan baru baru ini panitia ospek 2017 kampus Stiesia meminta tolong kepada Bonek Stiesia untuk membuat choreography saat ospek dijalankan. 

Kami sampai saat ini juga menjalin silaturahmi dengan baik bersama UKM dan warga kampus. Kami ingin menghilangkan pandangan negatif yang ada kepada Bonek dimulai dari dalam kampus. Kami akan terus menerus memberi penjelasaan perlahan-lahan, dengan disertai tindakan tindakan positif tentunya, untuk menunjukkan jika Bonek kini telah berubah. 

Pembuatan Koreo untuk Ospek

DOKUMENTASI BONEK STIESIA, WHEN MATCHDAY COMES!!

Away Madiun


Jumat, 08 September 2017

Banyak Cerita Jadi Bonita

Oleh : Shella Wani (Bonek Campus Unesa)

Banyak yang ingin kuceritakan di sini, sepenggal kisah seru yang pernah terjadi dalam hidupku. Kisah tentang sepak bola dan segala tetek bengek yang ada di dalamnya. Kisah yang melebur menjadi cinta, persaudaraan, pengorbanan dan kesetiaan. Setidaknya bila aku sudah tua nanti, cucu-cucuku bisa membacanya dan bergumam "Ternyata mbahku dulu adalah seorang Bonita".

Aku menggemari sepak bola sedari SMP, semenjak bapakku setiap sore hari nonton bola dan aku harus benar-benar mengalah karena tak bisa menonton kartun kesukaanku. Setiap sore jadi membosankan, setiap hari harus melihat orang-orang giring-giringan bola di tengah lapangan hijau. Oper sana, oper sini lalu jatuh, kartu kuning, offside, dan apalah-apalah itu membuatku semakin geram.

Tapi lama-kelamaan aku mencoba menikmati, ketika itu Persebaya yang bertanding melawan siapa aku lupa, yang jelas aku benar-benar terhipnotis dan teriak-teriak sendiri depan layar kaca, ketika melihat permainan mereka, meskipun aku tidak paham betul segala hal tentang bola. Ternyata asyik juga, dan ikut deg-degan dengan bola yang menggelinding di gawang lawan. Lama kelamaan kutelusuri segala hal tentang Persebaya dan tentu saja suporternya.

Semua koran yang berbau Persebaya kuguntingi dan kutempelkan pada buku, dan jadilah sebuah kliping yang sangat tebal mengenai persebaya dan boneknya. Bila sampai sekarang masih kuteruskan mungkin jadi berpuluh-puluh buku, tapi sayangnya semua sudah lenyap gegara ibuku meloakkan semua buku SMP hingga SMAku.

Hingga pada akhirnya aku memberanikan diri ikut bergabung ke dalam komunitas bonek ketika menginjak bangku SMA, agar aku ada kawannya bila ingin lihat Persebaya secara langsung. Komunitas yang di dalamnya hanya ada dua orang wanita. Ya, hanya aku dan satu adek kelasku yang sudah duluan bergabung sebelumnya.

Terjun ke dalam dunia laki-laki memang menjadi resiko seorang perempuan bila diperebutkan atau digoda-goda. Jatuh cinta sesama teman komunitas, lalu putus dan melarikan diri. Ahh sudah bukan rahasia umum. Setelah kujelajahi berbagai komunitas dan akhirnya aku menyimpulkan satu hal, jangan sampai jatuh cinta kepada orang yang berada di dalam satu komunitas yang kamu ikuti. Apalagi kebanyakan komunitas itu kaum lelaki.

Untung-untungan bila yang kau cintai itu memang benar jodohmu, nah kalo masih cinta-cintaan labil, cinta monyet, mending gak usahlah sok totalitas, sok loyalitas, dan sok setia terjun dalam komunitas itu. Fokus Mencintai Persebaya saja.

Pada akhirnya impianku selama ini untuk mendukung Persebaya secara langsung segera terwujud, away day pertama, karena aku berasal dari luar kota Surabaya. Aku ingat dengan betul, dulu kami rombongan naik truk, truk yang di dalamnya dipenuhi oleh kaum lelaki, dan hanya kami berdualah yang menyandang gelar wanita. Berdesak-desakan sambil sesekali menjaga diri agar tak terjadi gesekan. Meskipun ada beberapa bocah yang sedikit agak nakal. Kami selalu berusaha menjauh dan mencari tempat yang longgar.

Berangkat pagi hari, dan sampai di Surabaya hampir sore hari. Perjalanan yang sangat melelahkan. Dan sialnya lagi ternyata truk tak boleh masuk ke dalam jalan utama menuju GBT. Pada akhirnya kami berjalan kaki dari jalan raya yang sebelum rel kereta, gak tau itu nama jalannya apa hehe. Pokoknya berasa jauh banget, kali pertama berjalan kaki sejauh itu dengan ratusan orang yang penuh sesak.

Rasa lelahku tak terasa ketika aku melihat berbagai macam bentuk orang dengan gayanya masing-masing di sekelilingku. Ternyata ini toh bonek yang banyak dibicarakan orang-orang? Bonek suporter yang banyak ditakuti lawan, bonek yang dicap doyan anarkis, bonek yang dipandang sebelah mata?


Aku mulai merinding ketika tiba di depan pintu stadion, apakah benar aku ada di sini? Atau hanya mimpi? Biarlah aku terlihat kampungan, toh ini memang benar isi hatiku yang terdalam.

Sebelum masuk stadion, kami memakan nasi bungkus yang di bawa dari rumah. Ya, kami bonek yang benar-benar bondo, membawa bekal sendiri dari rumah meskipun hanya lauk sambal goreng tempe dan telur. Kebersamaan yang sangat indah, ketika duduk melingkar makan nasi bungkus bersama di depan stadion. Bagiku itu adalah hal teromantis dibandingkan apapun.

Setelah memastikan semua anggota makan dengan kenyang, kami mengambil tiket masing-masing di salah satu koordinator, ini hal yang juga membuatku jengkel, berdesak-desakan dengan para lelaki ketika memasuki gate stadion.

Apa aku bisa? Apa aku nanti tidak akan terpisah dengan rombonganku ketika aku kalah adu kekuatan ketika ingin masuk duluan? Pikiran yang agak lugu kukira.
Pada akhirnya aku bisa masuk dengan elegan dan mulai menaiki satu persatu anak tangga yang membuat nafasku tersengal.

Sekarang mah enak, sudah disediakan jalur khusus untuk wanita dan anak-anak, aku sedikit lega karena tidak perlu khawatir lagi ketika berdesak-desakan dengan kaum lelaki.

Dari luar gate, suara itu, teriakan-teriakan itu, aura yang sudah mulai terasa. Membuat aku segera mempercepat langkah untuk segera masuk ke stadion.

JANCUK!

Satu kata yang seketika itu terlintas di dalam otakku, seketika itu darahku berdesir, melihat pemandangan hijau yang terbentang di depan mata. Benar-benar merinding dan rasanya ingin menangis, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di stadion setelah beberapa waktu menjadi penikmat tribun depan televisi.

Ada dua hal yang kurasakan saat itu, senang juga khawatir. Senang karena akhirnya bisa mendukung Persebaya secara langsung, dan khawatir karena aku tak berpamitan kepada orang tua bahwa aku sedang merantau sejenak ke Surabaya. Itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan, aku hanya berpamitan untuk main ke rumah teman tapi malah tersesat di kota orang. Alhasil aku dijadikan bahan pencarian seisi rumah.

Ayah, ibu, kakak, pakde, bingung mencariku kemana-mana. Menghubungiku pun tak bisa karena pada saat itu aku belum mempunyai ponsel. Aku seorang perempuan yang masih remaja, dan aku belum pulang dari pagi hingga tengah malam. Entah bisa dibilang aku sudah fix menyandang gelar bonek atau belum, karena sudah nekat ke luar kota padahal sudah jelas dilarang.

Persetan dengan gelar itu, yang pasti aku benar-benar bahagia bisa mendukung Persebaya secara langsung, bertemu dengan ribuan orang-orang yang mempunyai kegemaran sama. Meskipun pada saat pulang kami kehujanan, karena pada saat itu musim hujan. Alhasil seisi truk kebingungan dan mulai membuat atap dari terpal. Terpal yang hanya dipegangi dengan tangan di masing-masing sudutnya.

Kalian bisa membayangkan, hujan deras sekali diserati angin kencang, terpal yang sangat berat karena menampung air di atasnya serta terkadang angin berusaha menerbangkannya. Dan kami para wanita hanya bisa duduk meringkuk di dalamnya, kurang romantis gimana coba? Kami dua wanita berasa dikelilingi para pahlawan yang melindungi kami dari derasnya hujan.

Benar-benar melelahkan ketika sampai rumah hampir tengah malam. Dan sesampai di rumah benar-benar kena omelan bertubi-tubi. Aku bingung harus berkata apa, sebab aku tak berani jujur bila habis pergi ke Surabaya. Pada akhirnya ibuku tak mau berbicara padaku berhari-hari, membiarkanku begitu saja, tak mengajakku berbicara. Itu adalah hal yang menyakitkan.

Tapi lama-kelamaan beliau sudah memahami apa kegemaranku, membolehkanku melihat Persebaya, asal aku berteman dengan orang yang baik dan bisa menjaga diri sendiri. Sungguh tahun-tahun yang menyenangkan, dan masih banyak cerita tentunya. Cerita-cerita seru yang pernah kualami ketika mbonek, dan tak mungkin kuceritakan semua di sini.

Hingga pada akhirnya aku lulus SMA, dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Kuliah, harapan bagi semua orang agar hidup lebih baik, memiliki masa depan cerah. Tapi tidak bagiku, tujuanku kuliah adalah agar aku masih bisa bersenang-senang, tak terjebak rutinitas kerja yang menghambat aku mendukung Persebaya.

Tidak sampai di situ saja, kuliah di Surabaya juga jadi tujuan utamaku, tak peduli panasnya kota, kemacetan yang kulihat setiap hari atau tak dapat melihat gunung atau pemandangan bagus. Pikiranku dulu adalah, aku kuliah di Surabaya agar ketika mendukung Persebaya tidak kejauhan bila dari luar kota.

Tapi sial, tahun 2013 aku mulai duduk di bangku kuliah dan pada saat itu juga Persebaya di paksa mati. Mungkinkah jalanku tidak diridhoi? Ataukah aku memang ditakdirkan hadir di kota pahlawan untuk ikut serta memerjuangkan hak-hak Persebaya?
Segala macam perjuangan telah kuikuti dari bela, gruduk, ikut membuat spanduk dan segala-segalanya agar persebaya bisa berlaga kembali.

Perjuangan yang sangat panjang kukira, tapi tak sia-sia, tepat di bulan januari 2017, beberapa hari sebelum ulang tahunku, Persebaya akhirnya diakui kembali. Dan pada saat itu juga adalah hari dimana aku menanti saat-saat menjelang wisuda!

Kesialan macam apa ini? Ketika aku hampir lulus kuliah, Persebaya malah bangkit kembali. Entah ini kebetulan atau apa, yang jelas Tuhan pasti sudah menakdirkan jalanku seperti ini. Menjadi seorang pejuang meskipun tujuan awalnya hanya ingin bersenang-senang.

Kapok menjadi bonek? Kurasa itu pertanyaan yang sudah pasti jawabannya Tidak. Sebab perjuangan tidak hanya sampai di sini, masih ada perjuangan-perjuangan selanjutnya. Satu doaku lagi, semoga Persebaya bisa berlaga di kasta tertinggi negeri ini. Sudah saatnya kau pulang ke tempat asalmu sayang!

Saya wanita, saya Bonita dan saya cinta Persebaya.

 
Salam Satu Nyali Wani!

Saat Jadi Saksi HomeComing Game

Jumat, 01 September 2017

Lika Liku Menjadi Bonita

Oleh : Risa Terry (Bonek Campus Universitas Muhammadiyah Surabaya) 

Saat berumur 14 tahun, saya akrab sekali dengan 3 kata, “Persebaya” “Bonek” dan “Tawuran”. Kata yang terakhir, memang saat itu dan kadang masih berlaku sampai sekarang, image negatif tentang Bonek, mulai perusuh, hoby tawuran, yang jelek-jelek lah pokoknya. Entah karena apa. Tapi di lain sisi, saya juga sering mendapat cerita bahwa menjadi Bonek itu menyenangkan, punya keasikan tersendiri, bisa menghilangkan penat dengan seru-seruan bernyanyi didalam stadion bersama-sama. Dari sana, timbul rasa ingin nonton Persebaya pertama kali, ingin membuktikan sendiri cerita-cerita itu.

Seiring berjalannya waktu saya kerap melihat di pasar-pasar dan di pinggir-pinggir jalan banyak sekali yang berjualan kaos bergambar "Ndas Mangap". Dimana, saya tau jika yang memakai kaos "Ndas Mangap" itu pasti anak Bonek.
Sontak terpikir ........

“Wah kalo mau jadi bonek, aku harus punya nih kaos ‘Ndas Mangap'”
 “Pasti banyak ntar yang bilang aku sangar kalau aku pakai kaos ‘Ndas Mangap’”

Ya begitulah kurang lebih pemikiranku saat itu, pemikiran seorang gadis polos,14 tahun, yang tinggal di salah satu perumahan Sidoarjo tapi terbiasa berada di lingkungan yang banyak Bonek-nya, karena kebetulan ayah dan teman-temannya adalah pecinta Persebaya. Bahasa pincak-pincuk dulu sering sekali aku dengar, yang saat itu saya juga tak paham artinya. 

Kembali ke soal keinginanku membeli kaos ‘Ndas Mangap’ yang akhirnya setelah melalui proses panjang merayu ayah, saya jadi juga dibelikan kaos ‘Ndas Mangap’ yang full version (depan belakang bergambar Ndas Mangap). Daaaaan, tak tanggung tanggung, saya dibelikan tigaaa kaos langsung!! Waaaah betapa bahagianya saya saat itu, bayangan saya akan dilihat sebagai cewek sangar sudah terwujud di depan mata.

Tak berhenti dengan membelikan kaos, ayah saya pun mengajak ke stadion tambaksari, momen yang sangat aku tunggu-tunggu. Betapa excited-nya saya saat itu. Dengan kaos ‘ndas mangap’ baru, saya melihat pertandingan Persebaya untuk pertama kalinya. Saya lupa saat itu lawannya siapa, karena saya memang lebih tertarik dengan pemandangan di stadion kala itu. Pemandangan yang baru pertama kali saya lihat.

Stadion yang full dipenuhi warna hijau royo-royo, beberapa aku lihat juga Bonek yang mukanya berlumuran cat hijau, rambut pada acak-acakan, bertatto, dan kebanyakan yang saya temui juga tak memakai sandal ataupun sepatu. Dengan mengkeritkan dahi, saya hanya bisa berkata dalam hati (mbatin) .....
“Oh ini ta, Bonek yang kata orang sangar-sangar”

Sesaat kemudian, perhatian saya beralih ke nyanyian-nyanyian dukungan dari Bonek untuk Persebaya. Yang dulu, sangat susah sekali aku menghafalkan liriknya, alih alih ikutan satu suara bernyanyi, saya hanya bisa berteriak “Ayo..Ayo..Ayo” dan itupun saya pribadi juga tak mengetahui tujuan saya sendiri, yang saya tau hanya ingin ikut serta seru-seruan mendukung Persebaya. Tak hafal lirik nyanyian gapapa deh, toh tak ada yang memperhatikan juga.

Saya ingat sekali, pada jeda babak pertama, ada seorang ibu berbaju orange, berambut pendek yang menawarkan lumpia.

 "Nak beli lumpianya nak, biar ngga lapar"

Seketika itu juga, perutku langsung lapar karena melihat tumpukan lumpia yang masih hangat. Dan, sudah bisa ditebak, saya akhirnya membeli lumpia tersebut. Yang efeknya sampai sekarang saya doyan banget sama lumpia di stadion. Pasti menjadi agenda wajib yang harus saya beli tiap datang langsung saat match Persebaya.

Selain terpana karena kondisi / atmosfer stadion, saya juga terpana ketika pandangan mata saya jatuh kepada mbak-mbak berambut pendek, dikuncir 2, memakai kaos Persebaya, dan bersepatu. Dia berhasil menyita pandangan saya dalam waktu yang cukup lama, karena baru dia yang untuk pertama kalinya saya lihat tampil modis di stadion.
Sekali lagi saya berangan-angan dan mbatin ....

“Kalau sudah besar aku mau ahh kayak mbak itu, selain modis, mbak itu juga berani duduk dipagar, berani bernyanyi, berteriak-teriak bareng temen-temen cowonya”

Karena, saya dahulu memang culun sekali, stigma anak “mama dan ayah” sangat melekat di diri saya.

Setelah selesainya pertandingan pada saat itu, yang saya juga lupa berapa skor akhirnya (sekali lagi karna saya tidak fokus pada pertandingannya, saya terpana melihat pertama kali anak-anak bonek dengan kekompakannya saat mendukung Persebaya) saya melihat banyak yang berjualan kaos, syal, topi dan aksesoris lainnya yang bertemakan Persebaya tentunya. Yang saya terpikir, suatu saat harus punya semua aksesoris itu.


Setahun kemudian, tak terasa setelah mengumpulkan pelan-pelan, sudah banyak aksesoris / atribut bertemakan Persebaya milik saya. Mulai kaos, topi, syal bahkan sepatu pun saya sudah punya semua. All about Persebaya. Saya juga sering sekali update pertandingan-pertandingan Persebaya di koran pagi milik ayah, bukan karena pertandingannya tapi lebih karena ingin melihat berita kekompakan anak anak bonek didalam stadion.

Memasuki bulan Juni 2012 tanggal 1, seperti biasa saya membaca koran pagi, dan disana tertera jadwal pertandingan Persebaya. Tanggal 3 Juni 2012 tepatnya, Persebaya akan bertanding melawan Persija. Awalnya saya dan ayah sudah memutuskan harus berangkat menonton, Big match kan sayang kalo tak nonton langsung. Dan, entah itu feeling dari seorang mama, saya dan ayah tak diijinkan untuk berangkat ke Surabaya dukung Persebaya.

Pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam. Hingga muncul berita di TV, malam itu.... ya malam itu, malam yang berhasil membuat saya menangis, menangis karena diberitakan bonek bentrokan dengan polisi, saya tak menyangka anak bonek yang selalu ceria didalam stadion kenapa bisa seperti itu. Suasana hati saya juga campur aduk saat itu, bingung, sedih, kesal juga. Bingung karena, saya pribadi bertanya-tanya benarkah anak bonek bisa seperti itu tanpa ada penyebabnya. Karna saya tau, bonek yang penampilannya memang identik sangar-sangar itu, sejatinya mereka baik-baik, tak seperti image negatif yang sering media berikan.  

Setelah melihat itu bersama orangtua saya, saya melihat ekpresi kekecewaan dari ayah dan mama saya, saya menduga mereka berdua telah menyesal mengenalkan saya dengan Persebaya dan Bonek. Dan, saya tahu dugaan saya benar, setelah keputusan akhirnya orangtua saya membuang segala macam atribut yang saya bangga-banggakan, atribut yang membuat saya terlihat lebih sangar, atribut yang sudah saya kumpulkan selama setahun kebelakang, atribut yang sudah saya persiapkan untuk saya kenakan saat dewasa nanti dan tentu akan menjadi barang-barang yang punya cerita indah kelak. Tapi semua sirna... semuanya hilang, dibuang orangtua saya, mulai kaos, syal, topi, sepatu, semuanya tak dapat saya temukan lagi. Selain itu, tak ada lagi koran pagi ayah yang biasanya jadi sarana saya tau kabar berita tentang Persebaya. Benar-benar sedih saya saat itu.


Setelah menunggu berhari-hari, berbulan-bulan, setelah saya kehilangan koran pagi serta atribut Persebaya, akhirnya hari itu datang. Hari yang menghapus kesedihan saya, saat ayah saya memberi sebuah nasihat / janji lebih tepatnya akan mengijinkan saya mendukung Persebaya lagi.

Melalui perkataan sederhana ......

"Ica, kalau kamu sudah bisa cari uang sendiri, boleh beli baju ndas mangap lagi, boleh beli yang banyak, boleh jadi mbak-mbak yang duduknya di pagar kalau lihat Persebaya, boleh jadi apapun yg kamu mau asal bisa jaga diri”

Perkataan yang akan selalu saya ingat. Hari berlalu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Saya sungguh merindukan suasana stadion, saya merindukan lumpia, saya merindukan kekompakan anak-anak Bonek lagiL.
Akhirnya, diumur 19 tahun saya mulai bekerja, bisa cari uang sendiri. Gaji pertama saya, saya gunakan untuk beli baju Persebaya lagiii. Mengikuti perkembangan berita tentang Persebaya lagi, Yeaaay.

Dan, setelah sekian lama, moment yang saya rindu-rindukan telah kembali. Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya Bonek bersama-sama telah berhasil mengembalikan Persebaya ke kancah sepakbola lagi. Kini saatnya, saya kembali memakai atribut bertemakan Persebaya lagi, yang kini designnya lebih kreatif-kreatif. Saatnya, memasuki stadion dengan semangat baru. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan kala datang ke Stadion.

Kini bisa kita lihat wajah Bonek dengan image baru. Image yang perlahan-lahan menujukkan jika Bonek telah berubah ke arah yang lebih baik. Bonek yang mengajarkan saya arti kesetiaan terhadap kebanggaan, mengajarkan arti kesetiakawanan, kekeluargaan, dan mengajarkan arti nasionalisme yg tinggi. Kini saya bangga menjadi seorang BONITA (Bonek Wanita) yg ngga culun lagi meskipun masih takut duduk di pagar. HAHA.

Bersama Zoro, Salah Satu Maskot Persebaya

Bersama Rekan-Rekan Bonek UMS 

Terakhir, ini cerita saya, cerita dari mulai saya baru tau apa itu supporter apa itu Persebaya. Sampai kini, dan selamanya, kebanggaan saya tetap Persebaya.

Semoga tulisan ini, bisa membuat kalian lebih bangga dengan Persebaya. Yuk Mbonek.

Rabu, 23 Agustus 2017

KESEDERHANAAN BONEK VS ASUMSI MASYARAKAT

Oleh : Ujang Ilyas (Bonek Campus Untag)

Menjadi Bonek (Supporter Persebaya) tidaklah mudah. Banyak image negatif yang melekat didalamnya. Image yang paling banyak andilnya karena ketidakseimbangan pemberitaan media. Kala ada Bonek yang bertindak negatif berjibun media berlomba lomba jadi yang pertama memberitakan, sebaliknya kala banyak hal hal positif yang Bonek lakukan, jangan harap ada beritanya di media, karena memang kemungkinan kecil mereka meliput.

Image negatif ini juga bisa terawat karena asumsi, asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa Bonek ya meresahkan, menakutkan, tukang rusuh, asumsi yang seolah-olah menyangsikan jika setiap manusia bisa berubah, berproses menjadi lebih baik. Hanya beranggapan, jika bonek dulu pernah rusuh, ya selamanya bakal rusuh. Tak bisa berubah.

“Jangan terlalu cepat menilai seseorang karena setiap orang suci pasti punya masa lalu, dan setiap pendosa masih punya masa depan”

Bahkan yang lebih parah, asumsi ini dipersempit hanya berdasarkan melihat penampilan luar saja, hanya dari cara Bonek berpenampilan. Singkat cerita kebanyakan orang memandang Bonek sebagai sosok yang sangat meresahkan, bahkan ada yang sampai pada titik anggapan Bonek sebagai sampah masyarakat yang bisanya hanya meresahkan warga sekitar, membuat kegaduhan dan merusak fasilitas umum. Semua anggapan itu muncul hanya karena bonek berpakaian acak-acakan, korak (sok jadi preman).

“Jangan sampai, penilaian atau kesan negatif pada Bonek menghalangi kita melihat kebaikan dibalik penampilan mereka”

Alangkah baiknya kita mengenal lebih dalam Bonek yang saat ini semakin baik, bonek yang meski berpenampilan lusuh, korak, tidak rapi, acak2an dan berantakan namun didalam mereka ada jiwa yang ingin membangun kedamaian, kebaikan yang mulia, keamanan bagi sesama, dan keselarasan. Mereka yang dalam beragam aksi pengembalian Persebaya bagaimanapun hasilnya, selalu berujung damai. Mereka adalah pemersatu supporter sepak bola yang ingin bersama sama mengembalikan tujuan awal sepakbola yakni sebagai pemersatu, menjadikan supporter lain sebagai teman dan saudara di dalam dan diluar lapangan/tribun.

Tahukah kalian disisi lain kehidupan bonek yang anda tafsirkan seperti itu, tidak semuanya benar, bahkan banyak salahnya. Banyak Bonek yang berasal dari kalangan berada, yang kehidupannya cukup, yang kebutuhannya hampir semua bisa terpenuhi, tapi memilih berpenampilan apa adanya. Bonek buat saya di artikel ini adalah bonek yang apa adanya, Bonek yang tidak harus selalu menunjukan apa yang dia punya sesungguhnya. Mendukung tim Persebaya adalah suatu keharusan tanpa harus adanya “keruwetan” , tanpa perlu merubah image hanya demi mendapat sebutan “best supporter” (dalam segi penampilan baju, dll).

Kesederhanaan dan apa adanya itu adalah Bonek”

Karena yang terpenting bisa memberi dukungan kepada Persebaya, mengawal Persebaya di kala main dimanapun, termasuk saat di luar kandang, dengan kendaraan apapun (bisa kereta, motor, kapal, pesawat, atau estafet dari 1 truk ke truk yang lain) yang penting bisa sampai di tempat Persebaya berlaga. Saat kembali pun dengan upaya sendiri tanpa harus membebankan pihak lain.

Terakhir, poinnya memang bukan tentang cara berpakaian, apalagi sampai mengadili kebaikan dan keburukan hanya berdasar penampilan semata. Karena penampilan adalah pilihan masing-masing orang yang harus kita hargai bersama. Hakikat kebaikan ada pada tindakan yang dilakukan, bukan pakaian yang digunakan. Dan, yang terpenting tetap mendukung Persebaya sepenuh hati, dalam kondisi apapun, dan menganggap Persebaya sebagai kebanggaan bersama. 


Minggu, 20 Agustus 2017

REKAMAN MEMORI "GRUDUK BANDUNG"

Oleh : Afifur Rohman (Bonek Campus ITATS) 

Perjuangan Bonek dalam upaya pengembalian Persebaya telah sampai ke babak final. Setelah bertahun tahun berjuang, berkali kali aksi di jalanan, mendatangi kongres PSSI baik di Surabaya atau Jakarta, sudah Bonek lakukan. Dan sampailah pada 1 titik yang saya sebut titik final. Final, karna nasib Persebaya akan ditentukan pada tanggal 8 Januari 2017, akan di kembalikan hak haknya oleh PSSI atau seperti sebelum-sebelumnya PSSI hanya janji-janji yang seringnya berakhir jadi bualan semata. Tak ditepati.

 Ini yang melatarbelakangi, Kongres PSSI di Bandung, sangat kami tunggu tunggu. Beragam persiapan telah dilakukan Bonek, koordinasi, sampai rapat akbar pun digelar untuk merencanakan “Gruduk Bandung”. Hal itu nampaknya sampai ke telinga PSSI, dan lewat Ketumnya, bapak Edy Rahmayadi melarang bonek untuk datang ke Bandung, dan sama seperti pengurus PSSI lainnya, beliau berjanji Persebaya bisa main di Liga Resmi PSSI. Tak hanya janji, ancaman / ultimatum pun diberikan jika bonek tetap datang ke tempat kongres, Persebaya akan dicoret dari Liga Indonesia. Mungkin karna bapak Edy ini Ketum baru, yang belum paham karakteristik Bonek. Bonek sudah katam, sudah muak dengan janji janji, dan yang paling penting, tak pernah takut ancaman!

”Yakini kebenarannya, Perjuangkan Selamanya”

Ini yang membuat, Bonek memutuskan bersama untuk tetap mengawal Kongres PSSI yang bertempat di Hotel Arya Duta Jalan Merdeka, Bandung sampai Persebaya benar benar dikembalikan haknya.

Seluruh bonek tak ingin melewatkan momen final dalam perjuangan pengembaliaan Persebaya. Beragam cara dilakukan agar bisa sampai ke Bandung. Mulai dari menjual barang barang kesayangannya untuk biaya ke Bandung, Ijin di tempat kerja, sampai ijin kepada keluarga.

Dan sama seperti dulur dulur Bonek lain, saya juga memutuskan harus berangkat, ntah bagaimana caranya. Meski diawal saya ragu bisa datang kebandung atau tidak. Karena memang ada beberapa pagar yang harus saya lewati. Dan itu tidak mudah.

Saya bekerja di salah satu perusahaan. Jauh-jauh hari memang saya sudah mengajukan perijinan dengan alasan keperluan keluarga ke HRD saya. Saya sengaja berbohong, karena ada ketakutan, jika saya jujur tentang tujuan saya, HRD saya tak mengijinkannya.

Tapi ternyata ketakutan saya itu tak terbukti, salah satu teman kerja saya bilang ke HRD jika saya ijin untuk pergi ke Bandung , Bela Persebaya, dan Alhamdulillah HRD saya tetap mengijinkan saya tidak masuk kerja selama 2 hari. Beliau juga mendoakan, agar apa yang saya dan bonek bonek lain perjuangkan, bisa membuahkan hasil manis. Terimakasih ibu!

Setelah dapat ijin kerja. Pagar berikutnya adalah ijin kedua orang tua saya. Awalnya mereka tak mengijinkan, khawatir pasti, saya mahfum karena memang kekhawatiran itu berdasar pada masih banyaknya stigma negatif dari Bonek yang andil paling banyak disebabkan oleh pemberitaan media.


Perlahan lahan saya mencoba meyakinkan kedua orang tua saya, memperlihatkan bukti bukti jika Bonek sudah berubah ke arah yang lebih baik. Aksi aksi yang Bonek lakukan apapun hasilnya juga selalu berujung damai, tak ada kerusuhan. “Semua akan baik baik saja pak, buk” dan alhamdulillah beliau berdua mengijinkan saya berangkat. Ijin kerja dan ijin orangtua sudah dikantongi, saya pun bersiap menuju bandung #BelaPersebaya. 

Sebelum Keberangkatan di depan PDAM 

Saya berangkat bersama rekan-rekan Bonek Campus tanggal 6 Januari. Kami berangkat rombongan menggunakan Elf. Kami sepakat berkumpul di depan kantor PDAM jam  12 malam. Dan, saya juga memilih tempat di depan, agar bisa mengobrol dan menemani supir Elf kami. Selanjutnya, dari percakapan dengan beliau, beliau mengaku juga Bonek, dan ternyata anaknya juga berangkat ke Bandung, BelaPersebaya, via estafet. “Oh, Bonek pisan dadakno”

Di sepanjang perjalanan kami sering menemui dulur dulur Bonek yang Estafet. Loyalitas mereka memang tidak diragukan lagi, saya pribadi belum tentu bisa melakukan hal yang sama seperti mereka. Kami juga memutuskan untuk berbagi makanan, dan minuman yang kami punya untuk beberapa dulur dulur Bonek yang kita temui di jalan. Tak banyak memang yang bisa kami berikan, hormat kagem sampeyan sedoyo dulur!

Rombongan kami tiba dibandung tanggal 7 Januari sekitar pukul 17.00, kami sudah ditunggu rekan-rekan dari Viking Kampus yang diketuai Mas Agi di exit tol Buah Batu yang selanjutnya kami diajak ke kampus LPKIA yang bertempat di Jalan Soekarno Hatta no 456. 

Sambutan dari Viking Kampus

Disana kami sudah ditunggu oleh rombongan Viking Kampus yang lainnya, keakraban paseduluran Bonek-Viking begitu terasa disana. Kami berbaur satu sama lain, bercengkrama, menyanyikan lagu-lagu Bonek dan Viking berganti-gantian.  Lewat jam 10 malam, kami diajak berpindah tempat agar bisa beristirahat. Tepatnya, di salah satu kos milik anak Viking kampus LPKIA.

Ada sedikit rasa cemas dari kami, jikalau harus digiring aparat menuju Gor Padjajaran. Karena memang Bonek yang ada di Bandung di batasi geraknya, pada satu titik kumpul yakni Gor Padjajaran. Ini untuk menghindari aksi langsung Bonek di lokasi kongres yang pastinya tak direstui oleh bapak ketua umum PSSI.  

Bercengkrama di Kampus LPKIA

Kos yang kami tuju letatnya tak jauh dari Kampus LPKIA. Kami beristirahat sejenak dan bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap menuju GOR padjajaran. Tepat pukul 08.00 kami diantar rekan rekan Viking Kampus bergegas menuju GOR pajajaran. Kami dilewatkan hotel yang menjadi tempat kongres PSSI, dan berbagai destinasi wisata di Bandung seperti  yang ada di Jalan Asia Afrika, dan Jalan Braga.

Sesampai di GOR Padjajaran kami berpisah, dikarenakan Bonek harus masuk GOR dan rekan rekan viking kampus menunggu di luar GOR. Di dalam Gor kami bergabung bersama ribuan arek-arek bonek lainnya yang sudah memadati area Gor. Menunggu dengan harap harap cemas hasil kongres PSSI soal nasib tim kebanggaan kami.

Akhirnya hasil sudah didapatkan, Cak Andie Peci yang mengumumkan kepada kami jikalau Persebaya telah dikembalikan hak-haknya oleh PSSI. Keputusan ini sontak menimbulkan beragam ekspresi, ada yang terang terangan menangis, ada yang hanya diam tapi tetap tak kuasa menahan air mata, ada yang sujud syukur, dan lainnya. Lagu lagu, Chant-chant Persebaya bergema di Gor Padjajaran dan sekitar saat itu. Semua larut dalam kegembiraan, tak terkecuali rekan-rekan viking yang berada di luar GOR, mereka juga ikut serta menikmati euforia kembalinya Persebaya setelah sekian lama dipaksa mati oleh federasi.  



Kedatangan Bapak Gatot dari Kemenpora

Sekitar pukul 11 siang juru bicara dari Kemenpora Gatot Dewabroto menyempatkan untuk menemui Bonek di GOR Padjajaran, beliau menegaskan kembali bahwa hasil kongres memutuskan bahwa Persebaya bisa berlaga kembali.

Setelah mendengar hasil kongres, sedikit demi sedikit para bonek meninggalkan kota Bandung. Kami rombongan bonek campus sebelum kembali ke Surabaya di ajak jalan-jalan menikmati romantisme kota kembang. Kami diajak ke salah satu icon kota Bandung, yakni Gedung Sate. Tentunya kami, mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama.

Setelah puas berfoto-foto kami diajak berpindah ke lapangan Batununggal disitu kami beristirahat sejenak, bertemu dulur dulur Bonek Simo juga. Kami kembali bercengkrama bersama sambil makan makanan dari rekan rekan Viking kampus. Sekitar pukul 17.00 waktu Bandung kami pamit, dan bergegas balik menuju kota Surabaya. Dengan membawa hasil yang membanggakan, momen yang tak terlupakan, cerita cerita heroik para bonek, ataupun kisah romantisme kebersamaan seduluran dengan saudara tua bonek, Viking, pasti akan selalu saya kenang.

Tulisan ini saya tutup dengan ucapan terimakasih kepada semuanya, terimakasih Viking, khususnya rekan-rekan Viking Kampus. Kini, Persebaya telah kembali, mari kita jaga bersama-sama, mendukung selalu, sampai akhir hayat. Persebaya Selamanya. 

Jumat, 30 Juni 2017

PERSEBAYA 90 TAHUN (3): ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Jika mengingat perayaan anniversary Persebaya ke 90 tahun dengan mengulas tentang pemain Persebaya saat ini, para legenda terdahulu, perayaan di lapangan, rasanya kurang lengkap jika euforia itu tidak menyentuh rumah para pemain keduabelas berdiri, bernyanyi untuk sang kebanggaan bersama yaitu tribun.

Di tribunlah, Bonek julukan pendukung Persebaya all out. Jika hujan mereka rela berbasah-basahan selain membasahi bibir kering saat berpuasa tentunya, jika harus berpanas-panasan dengan merelakan keringat bercucuranpun mereka terima, atau ketika harus berdesak-desakan dengan Bonek lainnya untuk bisa duduk atau berdiri di posisi strategis menurut mereka pun akan dilakukan, walaupun tak sedikit nggrundelan sana sini ketika beberapa orang naik turun tribun untuk mendapatkan tempat.

Khusus momen perayaan anniversary kemarin, penulis berpendapat tidak jauh berbeda dengan laga Homecoming Persebaya, hanya mungkin jika Homecoming adalah laga penanda kembalinya Persebaya dikancah liga dua dan memang dinanti-nanti oleh seluruh bonek bahkan warga Surabaya sendiri, untuk perayaan anniversary kemarin rohnya terasa berlipat-lipat. Berlipat-lipat euforianya, semangatnya, suasananya, momentumnya, bapernya, dan berujung pada sulitnya mereka move on beberapa waktu setelah perayaan anniversary selesai.

Membahas tribun, maka harus mendetail pula apa yang coba digali dari keistimewaan tribun untuk para pendukung dan tim tentunya. Jika para pemain fokus bermain di lapangan dengan berusaha semaksimal mungkin bahkan berani mati menurut kutipan pesan salah satu legenda Persebaya Rudy Keeltjes saat bertarung di lapangan hijau, maka porsi dari para pendukungnya adalah semaksimal pula untuk memberikan suguhan kreativitas aksi koreo, dan nyanyian atau chant semangat tanpa rasis. Diakui atau tidak, menurut pengakuan para legenda yang sempat penulis wawancarai, hadirnya Bonek dimanapun Persebaya berlaga selalu menambah semangat ngeyel pemain di lapangan. Bagaimana tidak, menurut pengakuan I Gusti Putu Yasa, mantan penjaga gawang Persebaya era 1980an, beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa Bonek saat itu memang suporter yang bernyali tinggi, tekad kuat, dan loyalitasnya tidak main-main untuk Green Force. Jika para pemain bermain jelek saat itu, maka Bonek akan berteriak dengan lantang di setiap tribun untuk menunjukkan kepada pemain bahwa “iki aku teko nggawe awakmu Persebaya, ojok kendur ojok lelah nggawe tampil sebaik mungkin nggawe pendukungmu” tetapi jika pemain bermain bagus maka Bonek akan memberikan aplaus sepanjang waktu saat pertandingan. Maka loyalitas dan ketulusan Bonek ini tetap telihat, terjaga, dan jauh lebih dewasa saat ini. Mereka memahami betul bagaimana makna dukungan nyata untuk kesebelasan, tanpa merugikan tim dengan denda yang sewaktu-waktu akan diterima oleh Persebaya, sejurus kemudian Bonek mulai berani menciptakan chant-chant penyemangat tanpa rasis untuk Persebaya.

Itu terlihat dan semakin kentara ketika momen anniversary kemarin. Babak pertama terlihat setiap tribun dengan semangat membawakan chant-chant Persebaya. Ya tidak sedikit terkadang kecolongan dengan nyanyian rasis yang untungnya tidak berlangsung lama, dan dapat dikendalikan lagi untuk fokus menyanyikan chant lainnya yang tidak berbau rasis. Memang terlihat ganjil sekali, ketika semangat untuk berubah dan mau menjadi suporter yang fanatik beretika atau fanatik dewasa harus berani mengalahkan diri sendiri untuk mau berubah.

Memasuki babak kedua. Penulis merasakan suasana yang jauh berbeda dari babak pertama. Jika sebelum babak pertama tidak sedikit penulis melihat dulur-dulur Bonek berurai air mata karena rasa haru dan sujud syukur bahwa perjuangan para pendahulu dan pejuang nekat yang sekarang mampu membawa Persebaya kembali berkompetisi, maka di babak kedua ini penulis merasakan dan melihat langsung, menjadi salah satu saksi dari ribuan Bonek lainnya bahwa antar tribun tetaplah SATOE BONEK SATOE, dan SADULURAN. Yang membedakan tribun hanyalah menurut sudut pandang masing-masing Bonek yang berada di tribun ini dan itu, sana dan sini, padahal jauh dari pemikiran yang sengaja membedakan, Bonek tetaplah suporter yang kompak dan solid.

Di pertengahan babak kedua, romantisme tribun yang penulis rasakan semakin terlihat ketika inisiatif untuk menggelorakan tribun dimulai dari tribun utara. Wall of death yang biasa dulur-dulur tribun utara lakukan kali ini dilakukan dengan mengajak tribun timur saling nyahut-menyahut (menimpali). Ajakan itu tidak berjalan dengan baik awalnya, karena dari kejauhan terlihat tribun timur juga sedang asik ngechant bareng. Baru ajakan yang ketiga dengan serentak tribun utara mengajak tribun timur melalui teriakan “timur timur timur timur timur” barulah romantisme itu dimulai. Atas komando Capo Ipul-Wakbreng dari Utara dan Dirijen Hamim Gimbal-Okto Tyson, nyanyian itu terlihat menyejukkan hati. Lalu wall of death kedua tribun utara mengajak penghuni tribun VIP, melihat ajakan tribun utara, para penghuni tribun VIP jelas tidak mau berdiam diri dan kalah dengan tribun timur, maka kedua kalinya, pribadi penulis salut melihat kekompakan tribun VIP yang notabene nya Bonek yang ingin menikmati permainan dengan asik dan santai. Lalu, wall of death ketiga tribun utara ini mengajak tribun selatan/kidul untuk bersuka cita dengan chant yang dinyanyikan bersama.sempat tiga kali lebih untuk bisa mengajak tribun kidul mau melakukan wall of death via LDR ini, karena setelah ditelisik, tribun kidul juga sedang melakukan koreo dan ngechant bersama, dan kor teriakan ajakan ke tribun kidul tidak langsung bisa ditimpali langsung, mengingat terhalang oleh jarak lapangan yang membentang tribun utara dan kidul. Penulis merasakan sendiri bagaimana romantisme tribun ini semakin membuat kami semua salut, karena teriakan chant dari tribun kidul melalui komando Ali Akbar jelas terdengar tak kalah keras dari tribun utara. Diakui atau tidak sekali lagi, penulis merasa beruntung bisa menjadi bagian dari perayaan anniversary Persebaya yang lalu. Momen romantisme tribun, ya memang sangat menyentuh hati dan pikiran kami.

Ah satu lagi, karena kami kedatangan tamu dari Persikmania, suporter Persik Kediri, untuk keempat kalinya penulis merasa bangga, bagaimana tidak bangga jika suporter tamu saja mampu menimpali ajakan untuk ngechant bersama melalui wall of death dan mereka hafal! Oh May God.

Kenapa berulang-ulang penulis selalu menyelipkan romantisme tribun? Yups, bagi penulis pendukung Persebaya bukan lagi suatu paksaan atau hal bodoh, bahkan menjadi Bonek atau Bonita pun bukanlah suatu kesalahan dan kampungan. Karena dari identitas tersebut kami paham, bahwa sejarah panjang Persebaya beserta perjuangan kami selama ini sepatutnya mampu kami jaga, bukan untuk mengubah sejarah, tetapi menjaganya dan mengedukasi lainnya untuk mau tau, mau peduli, mau perhatian, dan bangga menjadi pendukung PERSEBAYA. Romantisme tribun ini jelas tidak terlepas dari hal tersebut, karena bangganya menjadi Bonek dan Bonita, maka dihadapan Persebaya kita semua sama. PERSEBAYA tak pernah menanyakan bahkan mempermasalahkan apa pendidikan terakhirrmu, berasal dari kampung manakah kamu, seperti apa cara berpenampilanmu, dan dari suku atau ras apa kamu, tetapi Persebaya lah yang mampu menyadarkanmu, bahwa di dalam tribun pun tidak ada komunitas yang dibesarkan, tidak ada tribun yang dibangga-banggakan melebihi Tuhannya, karena Persebaya jauh lebih besar dari komunitas yang menjadi “kendaraanmu” mendukung Persebaya. Maka sewajarnya semua tribun mampu menghidupkan “tempatnya” berdiri, memberikan semangat yang tiada henti, saling mengingatkan bahwa rasis bukanlah hal yang harus diutamakan terus-menerus saat di dalam stadion, tetapi besarkan semangat dan nyanyian pendukung untuk kesebelasan kita.

Romantisme tribun.. penulis berharap bukan hanya untuk perayaan anniversary saja mampu kami rasakan dan kami lihat, tetapi semoga ketika liga kembali berjalan, romantisme antar tribun semakin menonjol dan menjadi tradisi di setiap laga Persebaya. Baik kandang atau tandang, baik laga resmi ataupun uji coba. Ya antar tribun, bukan (satu) tribun saja.

PERSEBAYA 90 TAHUN (2): PERAYAAN DI LAPANGAN, DAN ROMANTISME TRIBUN

Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)

Masih tentang perayaan anniversary Persebaya yang ke 90 tahun. Masih dengan suasana yang sampai saat ini saya sering berkata dalam hati “shit aku sek gorong isok move on teko euforia mau bengi” saat jari-jari lentik ini asik scroll atas bawah di Instagram dan twitter, bahkan youtube melihat dokumentasi dari dulur-dulur Bonek suasana GBT malam itu. Melebihi kebanggaan merayakan anniversary bersama pasangan mungkin ya.

Setelah laga Legend Persebaya hijau dan putih usai, kedua tim baik Persebaya dan Persik sedang bersiap diri untuk pemanasan di lapangan, dan saya bersama Bonek lainnya memilih untuk duduk santai sambil berbagi lumpia dan air mineral gelasan satu sama lain menunggu kick off dimulai pukul 20.30 WIB.

Peluit tanda pertandingan dimulai telah ditiup, dan kami yang berada di lantai dua serentak memilih berdiri sambil ngechant dengan semangatnya. Dari setiap sudut tribun yang tadinya masih terlihat bolong-bolong, tidak terasa menjadi riuh dan full oleh ribuan Bonek yang memadati setiap tribun, terutama tribun ekonomi utara, timur, dan selatan. Suasana semakin semarak tatkala Rendy Irawan berhasil memasukkan bola ke gawang Persik dan gooooollll, nyanyian antar tribun semakin membahana di dalam GBT, dan tentunya semakin bersemangat untuk terus memberikan suntikan semangat melalui chant-chant Bonek.

Peluit babak pertama telah usai, menandakan akan ada jeda untuk para pemain beristirahat, dan kami juga bisa sedikit menselonjorkan kaki kami. Saat saya bersama lainnya memilih untuk turun dan pindah ke lantai satu, hiburan terus ada dan tidak berhenti begitu saja. Saya melihat puluhan Bonek dengan semangatnya bergotong-royong menyeret dan melebarkan kain besar dengan gambar logo Persebaya, memutar dan berlari-lari kecil agar kain besar tersebut mampu terlihat sempurna seperti yang direncanakan sejak awal. Sedangkan yang berada di tribun dengan asiknya menyalakan flare dan smoke bomb. Sudah lama saya tidak pernah melihat aksi tersebut, ya selain karena suasana yang berbeda, juga karena kreatifitas dulur-dulur Bonek yang semakin hari semakin keren untuk diapresiasi dengan baik.

Babak kedua dimulai, dapat saya simpulkan melalui dokumentasi dari video dan foto, terlihat jelas dulur-dulur Bonek sudah bersiap dengan flare ditangan masing-masing dan kembang api dari setiap tribun yang akan dinyalakan, serta paper roll yang akan dilemparkan ke arah lapangan. Permainan dibabak kedua semakin asik untuk diamati, tatkala Persik mampu menyamai kedudukan, tak ada rasa kecewa dari kami. Ya memang kami memaklumi ini bukan laga resmi yang akan mempengaruhi klasemen tim kami di grup, lagipula ini hiburan, yang tak lain bagian dari perayaan anniversary klub berjuluk Bajol Ijo ini.

Saat masing-masing tribun semakin bergelora dengan koreo, chant, dan aksi menyalakan flare, ada satu momen dari keseluruhan momen yang membuat saya, bahkan semua Bonek yang hadir tak akan pernah melupakannya. Ketika ajakan tribun utara untuk wall of death dari gate 4 ke gate 6, atau gate 4 ke gate 3, malam tadi untuk pertama kalinya saya mampu merasakan rasa haru ketika sahut-menyahut chant klasik yang sering dinyanyikan siapapun menjadi barang langka antara tribun utara dengan tribun timur, tribun utara dengan VIP, antara tribun utara dengan tribun selatan, bahkan antara tribun utara dengan gate 19 yang dipenuhi oleh suporter tamu Persikmania. Applaus yang tiada henti dan tawa bahagia mampu saya rekam dengan mata saya sendiri, bahwa satoe Bonek satoe dan kabeh dulur memang yang harus kami junjung tinggi bahkan menjadi prinsip kami untuk terus meningkatkan kreatifitas antar tribun tanpa mengutamakan gengsi tribun demi kepentingan pribadi.

Sesaat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang mempertemukan Persebaya dengan Persik Kediri, saat itu juga serentak perayaan anniversary Persebaya bukan hanya berada di lapangan, tetapi juga perayaan dari dulur-dulur Bonek yang kompak menyalakan flare, smoke bomb, dan kembang api menandai rasa syukur kami bahwa hingga detik ini, kami masih bisa bersama-sama dan merayakan usia klub kebanggaan warga Suroboyo. Nyanyian selama ulang tahun dari grup band Jamrud yang dinyanyikan seluruh Bonek menandai bagaimana perjalanan dan perjuangan jauh telah Persebaya dan Bonek lalui hingga mampu bertahan dan terus melangkah di usia 90 tahun ini.

Bukan usia yang masih muda lagi, tetapi tak serta merta membuat Persebaya menjadi besar kepala akan julukannya sebagai klub yang ditakuti sejak jaman Perserikatan. Perjalanan Persebaya yang dulunya sempat dipaksa mati, mengalami dualisme hingga membuat kami sering turun ke jalan, ke pengadilan, bahkan gruduk Jakarta dan bandung demi mendapatkan pengakuan status Persebaya untuk bisa berkompetisi lagi semakin membuat kami menyadari bahwa sejarah memang hanya dibuat oleh para pemenang, para pejuang, pejuang sing tatak dan bernyali, dan malam tadi, para pejuang yang juga pemenang itu tumpah ruah dari tribun berlari turun ke lapangan. Entah untuk mengejar pemain idola demi mendapatkan tanda tangan, jersey, berfoto bareng, atau berlari-lari ke arah tribun lainnya sambil mengibar-ngibarkan giant flag mereka..ahh momen yang saya rasa akan selalu berbeda setiap tahunnya dari perayaan anniversary Persebaya kedepannya, bahkan turunnya ratusan bahkan ribuan Bonek ke lapangan sudah jarang saya lihat di GBT.

Perayaan anniversary Persebaya di lapangan tadi malam sangatlah berkesan di hati siapapun, bukan hanya kami sebagai suporter, tetapi juga pemain, manajemen, keluarga pemain, dan official, tentunya official yang saya kagumi sejak saya mendatangi kediaman beliau dan berhasil mendengarkan kenangan manisnya saat di Persebaya ataupun saat Persebaya belum bisa berkompetisi lagi, beliau adalah Madra’i.

Usia madra’i mungkin belum setua usia Persebaya, tetapi semangat, keyakinan, dan keloyalan beliau menjadi salah satu contoh bagaimana menjadi individu yang mencintai Persebaya dengan tulus, tanpa ada tedeng ali-ali kepentingan tertentu tetaplah berdiri, berada disamping kesayanganmu, yaitu Persebaya. Mengingat dahulu saat Persebaya mengalami dualisme, hingga aksi boikot menjadi penanda Persebaya tak bisa berkompetisi beberapa musim, Madra’i dengan setia tetap memilih bertahan di Persebaya walaupun beliau tahu bahwa memilih menunggu pulihnya Persebaya yang tak tahu kapan akan berakhir, gaji belum terbayar lunas, dan kesehatan yang tetap menjadi perhatiannya di usia senja, beliau tak pernah mundur sedikitpun untuk berpaling dan meninggalkan Persebaya. Maka jadikan pilihan dan aksi nyata Madra’i sebagai cambuk semangat kita untuk tetap menjadikan Persebaya kebanggaan bersama, yang sepatutnya tidak menjadi kendaraan yang membawa kita mencapai kepentingan pribadi dan merugikan kebanggaan ini.

Persebaya, kau lebih besar dan sangar dari yang kukira, tetapi aku tak pernah takut dan ragu untuk mendukungmu. Karena kaulah, aku mengenal arti perjuangan, persaudaraan, kesetiaan, dan kepercayaan akan dukungan nyata yang tak pernah membuatku menyesal telah mendukungmu.


RUBAH STIGMA BONEK LEWAT TUGAS AKHIR KULIAH

Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)

Pada tanggal 3-4 Juni lalu, ada sebuah acara menarik yang bertajuk Paradesia (Pameran Tugas Akhir Desain Grafis Unesa). Acara yang dibuat oleh teman-teman Jurusan Desain Grafis Unesa ini adalah acara tahunan yang memamerkan karya-karya tugas akhir dari mahasiswa desain grafis Unesa. Pada tahun ini Paradesia memasuki jilid ke-6. Selain pameran tugas akhir, acara yang berlangsung di gedung GEMA kampus Ketintang ini juga menyajikan talk show, lomba ilustrasi dan fotografi, juga perform dari band lokal.

Sumber : Instagram Paradesia

Salah satu karya tugas akhir yang menarik perhatian, yaitu karya yang dibuat oleh Yusuf. Mahasiswa desain grafis yang juga anggota Bonek Unesa ini mengangkat tema “Rebranding Strikercrocawear” yang merupakan produk merchandise berbau Persebaya dan Bonek.
Karya Tugas Akhir Yusuf (Foto Pribadi) 

Dalam pengerjaan tugas akhir ini, Yusuf bertujuan untuk mengangkat citra Bonek yang selalu dianggap negatif oleh masyarakat, “Soale aku seneng Persebaya dan pingin  memgenalkan Bonek tidak hanya dari sisi negatifnya karena ada sisi positif seperti memiliki usaha merch dan kedepannya ingin punya andil penting untuk Persebaya,” terang Yusuf saat saya temui di sebuah warung kopi kawasan kampus Ketintang.

Karya tugas akhir milik Yusuf ini juga sudah memiliki website untuk mempermudah pemilihan produknya, “Harapannya, saat ini era sudah digital. Untuk mempermudah pemilihan produk dan transaksi jual-beli disediakan web juga,” ujarnya.

Design Web (Foto Pribadi) 
Saat ini pemilik usaha merchandise Persebaya di kalangan teman-teman Bonek sudah banyak sekali jumlahnya. Ada istilah untuk dhulur-dhulur yang memiliki usaha merch biasanya disebut “Arek Bakulan”. Salah satu wadah yang menaungi arek bakulan, yaitu Paguyuban Pasar Bonek.

Semoga saja dengan banyaknya jumlah Bonek yang memiliki usaha merch bisa turut andil membantu perkembangan Persebaya.

BONEK DAN KULTUR CANGKRUK

Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)

“Rek, ayo gak cangkruk ta ?”
“Cangkrukan sek, rek! Ambek ngopi enak.”

Tentu kita sudah sering mendengarkan atau bahkan mengucapkan langsung kalimat ajakan di atas. Cangkruk sambil minum kopi bersama teman-teman adalah kegiatan yang mengasyikkan, walaupun terkadang ada teman yang diajak cangkruk dan ngopi tapi pesennya es.

Istilah cangkruk sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya. Cangkruk adalah kegiatan kumpul bersama, nongkrong bareng, ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman di suatu tempat. Bisa di teras rumah, pos ronda, warung kopi sampai dengan cafe. Biasanya tempat paling favorit untuk cangkruk, yaitu di warung kopi. Selain karena tempatnya yang merakyat, warung kopi punya menu andalan yaitu kopi hitam tanpa merek dan tak lupa gorengannya. Pelaku kegiatan ini pun beragam, dari tua sampai muda, pengusaha, buruh, sopir truk, tukang becak sampai dengan Bonek.

Warung Kopi 

Dalam kegiatan cangkrukan, ada banyak sekali topik obrolan, mulai dari yang serius sampai yang begejekan. Mulai dari pembahasan ekonomi, politik, curhat cinta sampai bal-balan. Kalau pembahasan sudah menjerumus pada sepakbola tentu tidak afdol kalau tidak membahas Persebaya. Cangkrukan di warung kopi bersama teman, mbahase Persebaya, sambil menyeduh kopi dan menghisap kretek dengan nyenden di tembok sampai posisi 45 derajat, apalagi kalau ada fasilitas wi-fi gratis dan colokan, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!

Saat Persebaya bertanding warung kopi biasanya dijadikan titik kumpul para Bonek sebelum menuju stadion bersama-sama. Cangkrukan dhisek sebelum nyetadion. Begitu juga saat usai pertandingan, kebanyakan para Bonek tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan melipir ke warung kopi untuk sekedar membahas hasil pertandingan.

Kultur cangkruk di warung kopi bagi Bonek bisa menjadi kegiatan merawat ingatan. Tidak jarang saat nyangkruk ada Bonek yang lebih tua menceritakan kejayaan Persebaya dimasa lampau pada Bonek yang lebih muda. Bagaimana hebatnya sundulan Syamsul Arifin, tentang pemilik ”Tendangan Geledhek” Eri Irianto, tangguhnya Bejo Sugiantoro mengawal pertahanan bahkan sampai gantengnya Zheng Ceng.

Persebaya tidak melulu tentang Andik Vermansyah. Melalui kegiatan nyankruk di warung kopi itu tadi kita bisa menelusuri mesin waktu menuju masa lampau. Bercerita tentang apa pun soal Persebaya di masa lalu atau masa sekarang.

Pada akhirnya, Persebaya itu abadi. Hidup di setiap sudut warung kopi kota Surabaya. Diceritakan dari generasi ke generasi. Melekat pada Kota Pahlawan.

Persebaya selamanya. . .

Salam satu nyali!

Wani!