Oleh : Shella Wani (Bonek Campus Unesa)
Banyak yang ingin kuceritakan
di sini, sepenggal kisah seru yang pernah terjadi dalam hidupku. Kisah tentang
sepak bola dan segala tetek bengek yang ada di dalamnya. Kisah yang melebur menjadi cinta, persaudaraan, pengorbanan dan kesetiaan.
Setidaknya bila aku sudah tua nanti, cucu-cucuku bisa membacanya dan bergumam
"Ternyata mbahku dulu adalah seorang Bonita".
Aku menggemari sepak bola sedari SMP, semenjak bapakku setiap sore hari nonton
bola dan aku harus benar-benar mengalah karena tak bisa menonton kartun
kesukaanku. Setiap sore jadi membosankan, setiap hari harus melihat orang-orang giring-giringan
bola di tengah lapangan hijau. Oper sana, oper sini lalu jatuh, kartu kuning,
offside, dan apalah-apalah itu membuatku semakin geram.
Tapi lama-kelamaan aku mencoba menikmati, ketika itu Persebaya yang bertanding
melawan siapa aku lupa, yang jelas aku benar-benar terhipnotis dan
teriak-teriak sendiri depan layar kaca, ketika melihat permainan mereka, meskipun aku tidak paham
betul segala hal tentang bola. Ternyata asyik juga, dan ikut deg-degan dengan bola yang menggelinding di
gawang lawan. Lama kelamaan kutelusuri segala hal tentang Persebaya dan tentu
saja suporternya.
Semua koran yang berbau Persebaya kuguntingi dan kutempelkan pada buku, dan
jadilah sebuah kliping yang sangat tebal mengenai persebaya dan boneknya. Bila
sampai sekarang masih kuteruskan mungkin jadi berpuluh-puluh buku, tapi
sayangnya semua sudah lenyap gegara ibuku meloakkan semua buku SMP hingga
SMAku.
Hingga pada akhirnya aku memberanikan diri ikut bergabung ke dalam komunitas
bonek ketika menginjak bangku SMA, agar aku ada kawannya bila ingin lihat
Persebaya secara langsung. Komunitas yang di dalamnya hanya ada dua orang wanita. Ya, hanya aku dan satu
adek kelasku yang sudah duluan bergabung sebelumnya.
Terjun ke dalam dunia laki-laki memang menjadi resiko seorang perempuan bila
diperebutkan atau digoda-goda. Jatuh cinta sesama teman komunitas, lalu putus
dan melarikan diri. Ahh sudah bukan rahasia umum. Setelah kujelajahi berbagai komunitas dan akhirnya aku menyimpulkan satu hal,
jangan sampai jatuh cinta kepada orang yang berada di dalam satu komunitas yang
kamu ikuti. Apalagi kebanyakan komunitas itu kaum lelaki.
Untung-untungan bila yang kau cintai itu memang benar jodohmu, nah kalo masih
cinta-cintaan labil, cinta monyet, mending gak usahlah sok totalitas, sok
loyalitas, dan sok setia terjun dalam komunitas itu. Fokus Mencintai Persebaya saja.
Pada akhirnya impianku selama ini untuk mendukung Persebaya secara langsung
segera terwujud, away day pertama, karena aku berasal dari luar kota Surabaya. Aku ingat dengan betul, dulu kami rombongan naik truk, truk yang di dalamnya
dipenuhi oleh kaum lelaki, dan hanya kami berdualah yang menyandang gelar
wanita. Berdesak-desakan sambil sesekali menjaga diri agar tak terjadi gesekan.
Meskipun ada beberapa bocah yang sedikit agak nakal. Kami selalu berusaha
menjauh dan mencari tempat yang longgar.
Berangkat pagi hari, dan sampai di Surabaya hampir sore hari. Perjalanan yang
sangat melelahkan. Dan sialnya lagi ternyata truk tak boleh masuk ke dalam
jalan utama menuju GBT. Pada akhirnya kami berjalan kaki dari jalan raya yang sebelum rel kereta, gak
tau itu nama jalannya apa hehe. Pokoknya berasa jauh banget, kali pertama
berjalan kaki sejauh itu dengan ratusan orang yang penuh sesak.
Rasa lelahku tak terasa ketika aku melihat berbagai macam bentuk orang dengan
gayanya masing-masing di sekelilingku. Ternyata ini toh bonek yang banyak
dibicarakan orang-orang? Bonek suporter yang banyak ditakuti lawan, bonek yang
dicap doyan anarkis, bonek yang dipandang sebelah mata?
Aku mulai merinding ketika tiba di depan pintu stadion, apakah benar aku ada di
sini? Atau hanya mimpi? Biarlah aku terlihat kampungan, toh ini memang benar
isi hatiku yang terdalam.
Sebelum masuk stadion, kami memakan nasi bungkus yang di bawa dari rumah. Ya,
kami bonek yang benar-benar bondo, membawa bekal sendiri dari rumah meskipun
hanya lauk sambal goreng tempe dan telur. Kebersamaan yang sangat indah, ketika
duduk melingkar makan nasi bungkus bersama di depan stadion. Bagiku itu adalah
hal teromantis dibandingkan apapun.
Setelah memastikan semua anggota makan dengan kenyang, kami mengambil tiket
masing-masing di salah satu koordinator, ini hal yang juga membuatku jengkel,
berdesak-desakan dengan para lelaki ketika memasuki gate stadion.
Apa aku bisa? Apa aku nanti tidak akan terpisah dengan rombonganku ketika aku
kalah adu kekuatan ketika ingin masuk duluan? Pikiran yang agak lugu kukira.
Pada akhirnya aku bisa masuk dengan elegan dan mulai menaiki satu persatu anak
tangga yang membuat nafasku tersengal.
Sekarang mah enak, sudah disediakan jalur khusus untuk wanita dan anak-anak,
aku sedikit lega karena tidak perlu khawatir lagi ketika berdesak-desakan
dengan kaum lelaki.
Dari luar gate, suara itu, teriakan-teriakan itu, aura yang sudah mulai terasa. Membuat aku segera
mempercepat langkah untuk segera masuk ke stadion.
JANCUK!
Satu kata yang seketika itu terlintas di dalam otakku, seketika itu darahku
berdesir, melihat pemandangan hijau yang terbentang di depan mata. Benar-benar merinding dan rasanya ingin menangis, akhirnya aku bisa
menginjakkan kaki di stadion setelah beberapa waktu menjadi penikmat tribun
depan televisi.
Ada dua hal yang kurasakan saat itu, senang juga khawatir. Senang karena
akhirnya bisa mendukung Persebaya secara langsung, dan khawatir karena aku tak
berpamitan kepada orang tua bahwa aku sedang merantau sejenak ke Surabaya. Itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan, aku hanya berpamitan untuk main
ke rumah teman tapi malah tersesat di kota orang. Alhasil aku dijadikan bahan
pencarian seisi rumah.
Ayah, ibu, kakak, pakde, bingung mencariku kemana-mana. Menghubungiku pun tak
bisa karena pada saat itu aku belum mempunyai ponsel. Aku seorang perempuan yang masih remaja, dan aku belum pulang dari pagi hingga
tengah malam. Entah bisa dibilang aku sudah fix menyandang gelar bonek atau
belum, karena sudah nekat ke luar kota padahal sudah jelas dilarang.
Persetan dengan gelar itu, yang pasti aku benar-benar bahagia bisa mendukung
Persebaya secara langsung, bertemu dengan ribuan orang-orang yang mempunyai
kegemaran sama. Meskipun pada saat pulang kami kehujanan, karena pada saat itu musim hujan.
Alhasil seisi truk kebingungan dan mulai membuat atap dari terpal. Terpal yang
hanya dipegangi dengan tangan di masing-masing sudutnya.
Kalian bisa membayangkan, hujan deras sekali diserati angin kencang, terpal
yang sangat berat karena menampung air di atasnya serta terkadang angin
berusaha menerbangkannya. Dan kami para wanita hanya bisa duduk meringkuk di dalamnya, kurang romantis
gimana coba? Kami dua wanita berasa dikelilingi para pahlawan yang melindungi
kami dari derasnya hujan.
Benar-benar melelahkan ketika sampai rumah hampir tengah malam. Dan sesampai di
rumah benar-benar kena omelan bertubi-tubi. Aku bingung harus berkata apa,
sebab aku tak berani jujur bila habis pergi ke Surabaya. Pada akhirnya ibuku tak mau berbicara padaku berhari-hari, membiarkanku begitu
saja, tak mengajakku berbicara. Itu adalah hal yang menyakitkan.
Tapi lama-kelamaan beliau sudah memahami apa kegemaranku, membolehkanku melihat
Persebaya, asal aku berteman dengan orang yang baik dan bisa menjaga diri
sendiri. Sungguh tahun-tahun yang menyenangkan, dan masih banyak cerita tentunya.
Cerita-cerita seru yang pernah kualami ketika mbonek, dan tak mungkin
kuceritakan semua di sini.
Hingga pada akhirnya aku lulus SMA, dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah.
Kuliah, harapan bagi semua orang agar hidup lebih baik, memiliki masa depan
cerah. Tapi tidak bagiku, tujuanku kuliah adalah agar aku masih bisa
bersenang-senang, tak terjebak rutinitas kerja yang menghambat aku mendukung
Persebaya.
Tidak sampai di situ saja, kuliah di Surabaya juga jadi tujuan utamaku, tak
peduli panasnya kota, kemacetan yang kulihat setiap hari atau tak dapat melihat
gunung atau pemandangan bagus. Pikiranku dulu adalah, aku kuliah di Surabaya
agar ketika mendukung Persebaya tidak kejauhan bila dari luar kota.
Tapi sial, tahun 2013 aku mulai duduk di bangku kuliah dan pada saat itu juga
Persebaya di paksa mati. Mungkinkah jalanku tidak diridhoi? Ataukah aku memang
ditakdirkan hadir di kota pahlawan untuk ikut serta memerjuangkan hak-hak
Persebaya?
Segala macam perjuangan telah kuikuti dari bela, gruduk, ikut membuat spanduk
dan segala-segalanya agar persebaya bisa berlaga kembali.
Perjuangan yang sangat panjang kukira, tapi tak sia-sia, tepat di bulan januari
2017, beberapa hari sebelum ulang tahunku, Persebaya akhirnya diakui kembali.
Dan pada saat itu juga adalah hari dimana aku menanti saat-saat menjelang
wisuda!
Kesialan macam apa ini? Ketika aku hampir lulus kuliah, Persebaya malah bangkit
kembali. Entah ini kebetulan atau apa, yang jelas Tuhan pasti sudah menakdirkan
jalanku seperti ini. Menjadi seorang pejuang meskipun tujuan awalnya hanya
ingin bersenang-senang.
Kapok menjadi bonek? Kurasa itu pertanyaan yang sudah pasti jawabannya Tidak. Sebab perjuangan tidak hanya sampai di sini, masih ada
perjuangan-perjuangan selanjutnya. Satu doaku lagi, semoga Persebaya bisa berlaga di kasta tertinggi negeri ini.
Sudah saatnya kau pulang ke tempat asalmu sayang!
Saya wanita, saya Bonita dan saya cinta Persebaya.
Salam Satu
Nyali Wani!
|
Saat Jadi Saksi HomeComing Game |