Jumat, 30 Juni 2017

BONEK DAN KULTUR CANGKRUK

Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)

“Rek, ayo gak cangkruk ta ?”
“Cangkrukan sek, rek! Ambek ngopi enak.”

Tentu kita sudah sering mendengarkan atau bahkan mengucapkan langsung kalimat ajakan di atas. Cangkruk sambil minum kopi bersama teman-teman adalah kegiatan yang mengasyikkan, walaupun terkadang ada teman yang diajak cangkruk dan ngopi tapi pesennya es.

Istilah cangkruk sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya. Cangkruk adalah kegiatan kumpul bersama, nongkrong bareng, ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman di suatu tempat. Bisa di teras rumah, pos ronda, warung kopi sampai dengan cafe. Biasanya tempat paling favorit untuk cangkruk, yaitu di warung kopi. Selain karena tempatnya yang merakyat, warung kopi punya menu andalan yaitu kopi hitam tanpa merek dan tak lupa gorengannya. Pelaku kegiatan ini pun beragam, dari tua sampai muda, pengusaha, buruh, sopir truk, tukang becak sampai dengan Bonek.

Warung Kopi 

Dalam kegiatan cangkrukan, ada banyak sekali topik obrolan, mulai dari yang serius sampai yang begejekan. Mulai dari pembahasan ekonomi, politik, curhat cinta sampai bal-balan. Kalau pembahasan sudah menjerumus pada sepakbola tentu tidak afdol kalau tidak membahas Persebaya. Cangkrukan di warung kopi bersama teman, mbahase Persebaya, sambil menyeduh kopi dan menghisap kretek dengan nyenden di tembok sampai posisi 45 derajat, apalagi kalau ada fasilitas wi-fi gratis dan colokan, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!

Saat Persebaya bertanding warung kopi biasanya dijadikan titik kumpul para Bonek sebelum menuju stadion bersama-sama. Cangkrukan dhisek sebelum nyetadion. Begitu juga saat usai pertandingan, kebanyakan para Bonek tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan melipir ke warung kopi untuk sekedar membahas hasil pertandingan.

Kultur cangkruk di warung kopi bagi Bonek bisa menjadi kegiatan merawat ingatan. Tidak jarang saat nyangkruk ada Bonek yang lebih tua menceritakan kejayaan Persebaya dimasa lampau pada Bonek yang lebih muda. Bagaimana hebatnya sundulan Syamsul Arifin, tentang pemilik ”Tendangan Geledhek” Eri Irianto, tangguhnya Bejo Sugiantoro mengawal pertahanan bahkan sampai gantengnya Zheng Ceng.

Persebaya tidak melulu tentang Andik Vermansyah. Melalui kegiatan nyankruk di warung kopi itu tadi kita bisa menelusuri mesin waktu menuju masa lampau. Bercerita tentang apa pun soal Persebaya di masa lalu atau masa sekarang.

Pada akhirnya, Persebaya itu abadi. Hidup di setiap sudut warung kopi kota Surabaya. Diceritakan dari generasi ke generasi. Melekat pada Kota Pahlawan.

Persebaya selamanya. . .

Salam satu nyali!

Wani!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar