Oleh : Eko Wahyudi (Bonek Campus Unesa)
“Rek,
ayo gak cangkruk ta ?”
“Cangkrukan
sek, rek! Ambek ngopi enak.”
Tentu kita sudah sering
mendengarkan atau bahkan mengucapkan langsung kalimat ajakan di atas. Cangkruk sambil minum kopi bersama
teman-teman adalah kegiatan yang mengasyikkan, walaupun terkadang ada teman
yang diajak cangkruk dan ngopi tapi pesennya es.
Istilah cangkruk sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya. Cangkruk adalah
kegiatan kumpul bersama, nongkrong bareng,
ngobrol ngalor ngidul dengan
teman-teman di suatu tempat. Bisa di teras rumah, pos ronda, warung kopi sampai
dengan cafe. Biasanya tempat paling favorit untuk cangkruk, yaitu di warung kopi. Selain karena tempatnya yang
merakyat, warung kopi punya menu andalan yaitu kopi hitam tanpa merek dan tak
lupa gorengannya. Pelaku kegiatan ini pun
beragam, dari tua sampai muda, pengusaha, buruh, sopir truk, tukang becak
sampai dengan Bonek.
Dalam kegiatan cangkrukan, ada banyak sekali topik
obrolan, mulai dari yang serius sampai yang begejekan.
Mulai dari pembahasan ekonomi, politik, curhat
cinta sampai bal-balan. Kalau
pembahasan sudah menjerumus pada sepakbola tentu tidak afdol kalau tidak
membahas Persebaya. Cangkrukan di
warung kopi bersama teman, mbahase
Persebaya, sambil menyeduh kopi dan menghisap kretek dengan nyenden di tembok sampai posisi 45
derajat, apalagi kalau ada fasilitas wi-fi gratis dan colokan, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!
Saat Persebaya
bertanding warung kopi biasanya dijadikan titik kumpul para Bonek sebelum
menuju stadion bersama-sama. Cangkrukan
dhisek sebelum nyetadion. Begitu
juga saat usai pertandingan, kebanyakan para Bonek tidak langsung pulang ke
rumahnya, melainkan melipir ke warung
kopi untuk sekedar membahas hasil pertandingan.
Kultur cangkruk di warung kopi bagi Bonek bisa
menjadi kegiatan merawat ingatan. Tidak jarang saat nyangkruk ada Bonek yang lebih tua menceritakan kejayaan Persebaya
dimasa lampau pada Bonek yang lebih muda. Bagaimana hebatnya sundulan Syamsul
Arifin, tentang pemilik ”Tendangan Geledhek” Eri Irianto, tangguhnya Bejo
Sugiantoro mengawal pertahanan bahkan sampai gantengnya Zheng Ceng.
Persebaya tidak melulu
tentang Andik Vermansyah. Melalui kegiatan nyankruk
di warung kopi itu tadi kita bisa menelusuri mesin waktu menuju masa lampau.
Bercerita tentang apa pun soal
Persebaya di masa lalu atau masa sekarang.
Pada akhirnya,
Persebaya itu abadi. Hidup di setiap sudut warung kopi kota Surabaya.
Diceritakan dari generasi ke generasi. Melekat pada Kota Pahlawan.
Persebaya selamanya. . .
Salam satu nyali!
Wani!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar