Oleh : Nindi Widiara (Bonita Campus UPN VJT)
Jika mengingat perayaan anniversary Persebaya ke 90 tahun
dengan mengulas tentang pemain Persebaya saat ini, para legenda terdahulu,
perayaan di lapangan, rasanya kurang lengkap jika euforia itu tidak menyentuh
rumah para pemain keduabelas berdiri, bernyanyi untuk sang kebanggaan bersama
yaitu tribun.
Di tribunlah, Bonek julukan pendukung Persebaya all out.
Jika hujan mereka rela berbasah-basahan selain membasahi bibir kering saat
berpuasa tentunya, jika harus berpanas-panasan dengan merelakan keringat
bercucuranpun mereka terima, atau ketika harus berdesak-desakan dengan Bonek
lainnya untuk bisa duduk atau berdiri di posisi strategis menurut mereka pun
akan dilakukan, walaupun tak sedikit nggrundelan sana sini ketika beberapa
orang naik turun tribun untuk mendapatkan tempat.
Khusus momen perayaan anniversary kemarin, penulis
berpendapat tidak jauh berbeda dengan laga Homecoming Persebaya, hanya mungkin
jika Homecoming adalah laga penanda kembalinya Persebaya dikancah liga dua dan
memang dinanti-nanti oleh seluruh bonek bahkan warga Surabaya sendiri, untuk
perayaan anniversary kemarin rohnya terasa berlipat-lipat. Berlipat-lipat
euforianya, semangatnya, suasananya, momentumnya, bapernya, dan berujung pada
sulitnya mereka move on beberapa waktu setelah perayaan anniversary selesai.
Membahas tribun, maka harus mendetail pula apa yang coba
digali dari keistimewaan tribun untuk para pendukung dan tim tentunya. Jika
para pemain fokus bermain di lapangan dengan berusaha semaksimal mungkin bahkan
berani mati menurut kutipan pesan salah satu legenda Persebaya Rudy Keeltjes
saat bertarung di lapangan hijau, maka porsi dari para pendukungnya adalah
semaksimal pula untuk memberikan suguhan kreativitas aksi koreo, dan nyanyian
atau chant semangat tanpa rasis. Diakui atau tidak, menurut pengakuan para
legenda yang sempat penulis wawancarai, hadirnya Bonek dimanapun Persebaya
berlaga selalu menambah semangat ngeyel pemain di lapangan. Bagaimana tidak,
menurut pengakuan I Gusti Putu Yasa, mantan penjaga gawang Persebaya era
1980an, beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa Bonek saat itu memang
suporter yang bernyali tinggi, tekad kuat, dan loyalitasnya tidak main-main
untuk Green Force. Jika para pemain bermain jelek saat itu, maka Bonek akan
berteriak dengan lantang di setiap tribun untuk menunjukkan kepada pemain bahwa
“iki aku teko nggawe awakmu Persebaya, ojok kendur ojok lelah nggawe tampil
sebaik mungkin nggawe pendukungmu” tetapi jika pemain bermain bagus maka Bonek
akan memberikan aplaus sepanjang waktu saat pertandingan. Maka loyalitas dan
ketulusan Bonek ini tetap telihat, terjaga, dan jauh lebih dewasa saat ini.
Mereka memahami betul bagaimana makna dukungan nyata untuk kesebelasan, tanpa
merugikan tim dengan denda yang sewaktu-waktu akan diterima oleh Persebaya,
sejurus kemudian Bonek mulai berani menciptakan chant-chant penyemangat tanpa
rasis untuk Persebaya.
Itu terlihat dan semakin kentara ketika momen anniversary
kemarin. Babak pertama terlihat setiap tribun dengan semangat membawakan
chant-chant Persebaya. Ya tidak sedikit terkadang kecolongan dengan nyanyian
rasis yang untungnya tidak berlangsung lama, dan dapat dikendalikan lagi untuk
fokus menyanyikan chant lainnya yang tidak berbau rasis. Memang terlihat ganjil
sekali, ketika semangat untuk berubah dan mau menjadi suporter yang fanatik
beretika atau fanatik dewasa harus berani mengalahkan diri sendiri untuk mau
berubah.
Memasuki babak kedua. Penulis merasakan suasana yang jauh
berbeda dari babak pertama. Jika sebelum babak pertama tidak sedikit penulis
melihat dulur-dulur Bonek berurai air mata karena rasa haru dan sujud syukur
bahwa perjuangan para pendahulu dan pejuang nekat yang sekarang mampu membawa Persebaya
kembali berkompetisi, maka di babak kedua ini penulis merasakan dan melihat
langsung, menjadi salah satu saksi dari ribuan Bonek lainnya bahwa antar tribun
tetaplah SATOE BONEK SATOE, dan SADULURAN. Yang membedakan tribun hanyalah
menurut sudut pandang masing-masing Bonek yang berada di tribun ini dan itu,
sana dan sini, padahal jauh dari pemikiran yang sengaja membedakan, Bonek
tetaplah suporter yang kompak dan solid.
Di pertengahan babak kedua, romantisme tribun yang
penulis rasakan semakin terlihat ketika inisiatif untuk menggelorakan tribun
dimulai dari tribun utara. Wall of death
yang biasa dulur-dulur tribun utara lakukan kali ini dilakukan dengan mengajak
tribun timur saling nyahut-menyahut (menimpali). Ajakan itu tidak berjalan
dengan baik awalnya, karena dari kejauhan terlihat tribun timur juga sedang
asik ngechant bareng. Baru ajakan yang ketiga dengan serentak tribun utara
mengajak tribun timur melalui teriakan “timur timur timur timur timur” barulah
romantisme itu dimulai. Atas komando Capo Ipul-Wakbreng dari Utara dan Dirijen
Hamim Gimbal-Okto Tyson, nyanyian itu terlihat menyejukkan hati. Lalu wall of death kedua tribun utara
mengajak penghuni tribun VIP, melihat ajakan tribun utara, para penghuni tribun
VIP jelas tidak mau berdiam diri dan kalah dengan tribun timur, maka kedua
kalinya, pribadi penulis salut melihat kekompakan tribun VIP yang notabene nya
Bonek yang ingin menikmati permainan dengan asik dan santai. Lalu, wall of death ketiga tribun utara ini
mengajak tribun selatan/kidul untuk bersuka cita dengan chant yang dinyanyikan
bersama.sempat tiga kali lebih untuk bisa mengajak tribun kidul mau melakukan
wall of death via LDR ini, karena setelah ditelisik, tribun kidul juga sedang
melakukan koreo dan ngechant bersama, dan kor teriakan ajakan ke tribun kidul
tidak langsung bisa ditimpali langsung, mengingat terhalang oleh jarak lapangan
yang membentang tribun utara dan kidul. Penulis merasakan sendiri bagaimana
romantisme tribun ini semakin membuat kami semua salut, karena teriakan chant
dari tribun kidul melalui komando Ali Akbar jelas terdengar tak kalah keras
dari tribun utara. Diakui atau tidak sekali lagi, penulis merasa beruntung bisa
menjadi bagian dari perayaan anniversary Persebaya yang lalu. Momen romantisme
tribun, ya memang sangat menyentuh hati dan pikiran kami.
Ah satu lagi, karena kami kedatangan tamu dari
Persikmania, suporter Persik Kediri, untuk keempat kalinya penulis merasa
bangga, bagaimana tidak bangga jika suporter tamu saja mampu menimpali ajakan
untuk ngechant bersama melalui wall of
death dan mereka hafal! Oh May God.
Kenapa berulang-ulang penulis selalu menyelipkan
romantisme tribun? Yups, bagi penulis pendukung Persebaya bukan lagi suatu
paksaan atau hal bodoh, bahkan menjadi Bonek atau Bonita pun bukanlah suatu
kesalahan dan kampungan. Karena dari identitas tersebut kami paham, bahwa
sejarah panjang Persebaya beserta perjuangan kami selama ini sepatutnya mampu
kami jaga, bukan untuk mengubah sejarah, tetapi menjaganya dan mengedukasi
lainnya untuk mau tau, mau peduli, mau perhatian, dan bangga menjadi pendukung
PERSEBAYA. Romantisme tribun ini jelas tidak terlepas dari hal tersebut, karena
bangganya menjadi Bonek dan Bonita, maka dihadapan Persebaya kita semua sama.
PERSEBAYA tak pernah menanyakan bahkan mempermasalahkan apa pendidikan
terakhirrmu, berasal dari kampung manakah kamu, seperti apa cara
berpenampilanmu, dan dari suku atau ras apa kamu, tetapi Persebaya lah yang
mampu menyadarkanmu, bahwa di dalam tribun pun tidak ada komunitas yang
dibesarkan, tidak ada tribun yang dibangga-banggakan melebihi Tuhannya, karena
Persebaya jauh lebih besar dari komunitas yang menjadi “kendaraanmu” mendukung
Persebaya. Maka sewajarnya semua tribun mampu menghidupkan “tempatnya” berdiri,
memberikan semangat yang tiada henti, saling mengingatkan bahwa rasis bukanlah
hal yang harus diutamakan terus-menerus saat di dalam stadion, tetapi besarkan
semangat dan nyanyian pendukung untuk kesebelasan kita.
Romantisme tribun.. penulis berharap bukan hanya untuk
perayaan anniversary saja mampu kami rasakan dan kami lihat, tetapi semoga
ketika liga kembali berjalan, romantisme antar tribun semakin menonjol dan
menjadi tradisi di setiap laga Persebaya. Baik kandang atau tandang, baik laga
resmi ataupun uji coba. Ya antar tribun, bukan (satu) tribun saja.