Oleh :
Nindi Widiara
(Bonita Campus UPNVJT)
Berjalan bersama,bernyanyi dengan suara lantang,dan panas pun bukan halangan untuk kami terus melangkahkah kaki. Riuh semangat dan kobaran teriakan teman-teman bonek masih tetap teringat ketika longmarch itu dimulai dari depan G10N menuju Hotel JW Marriot Surabaya.
Genap satu tahun tepatnya hari ini,18 april 2016 saya dan teman-teman yang lainnya hampir tidak terasa sudah berlalu dengan cepat. Walaupun perisitiwa tersebut sudah berlalu, tetapi hingga saat ini kami tetap “melangkahkan kaki” untuk terus memperjuangkan apa yang kami yakini dengan benar. Jika beberapa waktu yang lalu kami menuntut PSSI untuk dibubarkan,dan Persebaya Surabaya yang berdiri sejak tahun 1927 diakui dapat membuahkan angin segar dengan Surat Keputusan Menpora untuk membekukan PSSI entah sampai kapan. Beberapa saat kemudian HAKI jatuh ke tangan Persebaya Surabaya sejak 1927, dengan kata lain tidak ada siapapun yang boleh memakai nama Persebaya Surabaya. Perlahan-lahan apa yang kami harapkan dengan berbagai upaya secara bersama-sama seperti didengar oleh Tuhan,dan kami meyakini bahwa suara bonek adalah suara Tuhan,dengan segala bentuk keadilan,usaha,dan kebenaran.
Tetapi HAKI ditangan manajemen bukan berarti apa yang diupayakan telah 100% berhasil,saat inipun kami terus “berjalan” . Menyelesaikan,mencari solusi,membangunkan kebanggaan untuk bangkit seperti mencari potongan-potongan puzzle,lalu merangkainya agar terlihat akan menjadi gambar seperti apa,lalu mencari puzzle pun seperti kami sedang menaiki bianglala,berputar terus mencari gapaian untuk menjejakkan kaki ke tanah.
Kadang saya bosan, tetapi bukan lelah. Duduk lalu menikmati es di warung kopi dan berbincang membahas Persebaya dengan teman-teman saya. Entah sampai kapan perjuangan ini akan mencapai finish dari perjalanan bahkan berlarinya kami mencari kejelasan dari apa yang kami kritisi selama ini. Mencari tahu akan seperti apa Persebaya Surabaya jika terus melakoni turnamen tanpa adanya kesadaran manajemen untuk berbenah? Jika berbenah adalah ungkapan yang lebih halus daripada berkata “kapan manajemen akan keluar dengan kesadarannya selama 6 tahun ini tidak semestinya bekerja dan berperan dengan baik?”
Mencari tahu perjuangan akan sampai kapan tidak semudah menebak ending sebuah cerita seperti sinetron Anak Jalanan atau drama india Uttaran . Terkadang saya terpikir, bahwa kuasa Tuhan sepertinya di ambil alih oleh beberapa pihak yang sengaja membuat kami mungkin disebut sebagai “suporter gila, suporter aneh, suporter yang membuang waktu bla bla”.
Jika sempat membaca tulisan saya di portal media online EmosiJiwaku.com, saya sempat mengatakan bahwa Bonek telah melakukan Revolusi terbaik selama “eksistensinya” di hadapan publik. Ketika banyak orang membahas resolusi tahun 2016 akan seperti apa, Bonek dengan militannya telah melakukan satu per satu usaha dan harapannya dengan cara nya sebagai suporter, dan mungkin hanya dapat dipahami dengan sesama suporter pula.
Mengingat aksi longmarch 18 april 2015 di depan Hotel JW Marriott, juga mengingatkan saya dengan peristiwa beberapa hari sebelum longmarch, ketika SIM (Saleh Ismail Mukadar) menjadi bintang tamu di stasiun televisi swasta lokal, saat SIM dihampiri oleh beberapa oknum lalu menamparnya dengan berbicara nada yang keras. Seketika ratusan Bonek nglurug ke Polda Jatim, mengawal SIM untuk menunjukkan hasil visum kekerasan oknum tersebut dan melaporkannya kepada pihak berwajib. Malam-malam saya kesana bersama teman-teman bonek lainnya, tampak jelas raut wajah emosi bahkan sempat ada yang menitikkan air mata tatkala SIM keluar gerbang dan menemui beberapa wartawan serta Bonek lainnya,saya memahami bagaimana ikatan emosional teman-teman ketika SIM mengalami kekerasan seperti itu. Saya yakin bukan karena mereka mencintai SIM, tetapi menitikberatkan dimana SIM saat itu berdiri menjadi bintang tamu mewakili Persebaya Surabaya. Ungkapan seperti “menampar SIM, sama saja membungkam SIM untuk bersuara lantang tentang nasib Persebaya saat ini” mungkin ini lebih cocok. Sesaat sampainya dirumah, saya sempat berpikir bahwa “mungkin ini salah satu upaya petinggi tersebut nggembosi(membuat nyali dan niatan kami menciut) dengan kejadian SIM ditampar?” tetapi pada kenyataannya longmarch itu tetap ada dan tidak membuat kerusuhan. Padahal jika melihat sekeliling saat pagi sebelum longmarch, banyak broadcast dan pemberitahuan baik melalui BBM ataupun akun sosial media yang memberitahukan sementara jalur ke arah Tunjungan Plaza sampai JW Marriot akan ditutup karena adanya aksi longmarch dari kami agar tidak terjebak macet.
Ada beberapa hal yang menarik dan menjadi bukti nyata dari kami, dengan masih menempelnya stigma bahwa “bonek iku rusuh, bonek tukang kisruh, bonek tukang njarah dan lain-lain” mampu dijawab saat itu, manakala saat saya melihat salah satu Mall terbesar di Surabaya yang memang berjarak sekitar 25-30 meter dari hotel sengaja menutup Mall tersebut, mungkin takut akan terjadi penjarahan atau aksi brutal dengan memecah dan merusak fasilitas dari Mall tersebut, nyatanya dari awal hingga akhir pun tidak terjadi tindak anarkis dari kami, warung-warung gerobak, bapak jualan pentol dan gorengan pun meraup untung karena dagangannya laku terjual dan tidak ada keluh kesah “bonek e gak bayar”, nyatanya kami beli kami bayar. Mall yang ditutup pun juga tidak membuat “keisengan” teman-teman bonek untuk berulah.
Yang menarik pun ketika saya berjalan dan berjarak 5 meter saya melihat seorang bapak menggandeng 2 anaknya lengkap dengan atribut kebesarannya ikut berjalan dibawah terik matahari yang membuat keadaan menjadi semakin panas, kekaguman saya tidak berhenti disini ketika tidak lama kemudian ada seorang ibu dengan mengendarai motor matic bermaksud membujuk 2 anaknya untuk mau naik motor daripada berjalan jauh, tapi apa yang saya lihat? 2 bocah tersebut menolak ajakan ibunya dan tetap keukeuh untuk ikut ayahnya berjalan jauh bersama kami. Mungkin simpel, tetapi membuat saya semakin memaknai apa yang dimaksud “like father like son/daughter” karena kegemaran atau kecintaan ayahnya akan menurun kepada anak-anaknya kelak.
Dan salah satu kejadian yang tidak akan terlupakan bagi saya ketika kami semua memutuskan untuk balik pulang,ada yang balik kerumah masing-masing tetapi kebanyakan nya termasuk saya memutuskan untuk kembali ke Mess Persebaya(titik kumpul awal longmarch) walaupun sebenarnya jarak hotel dengan kediaman saya lebih dekat ketimbang balik ke mess.
Ketika kami yang berjalan sempat berhenti didepan BalaiKota dan bertemu dengan Bu Risma(wali kota Surabaya), saya yang saat itu sedang duduk untuk menghilangkan lelah memutuskan untuk menyebrang dan bergabung bersama teman-teman bonek lainnya. Di moderatori Mas Andi Peci dan Ckak Joner,saya masih mengingat interaksi yang ada. Ketika Mas andi menyampaikan satu permintaan dari teman-teman bonek “bu,awakdewe nang kene cuma njauk siji, cekelen Persebaya Surabaya sing ket tahun 1927, terus handle en.” Seketika respon Bu Risma diluar perkiraan, beliau hanya memandangi kami dan memutuskan untuk pergi tanpa menjawab dengan pasti karena seketika terdengar teriakan teriakan godaan “bu risma gondokan bu risma gondokan” dan tidak lama teman-teman lainnya membubarkan diri dan kembali berjalan. Saya yang merasa malas berjalan jauh meminta teman saya untuk ikut berjalan di jalan sedap malam untuk mempersingkat waktu, tidak sengaja saat saya berjalan, di saat yang bersamaan Bu risma juga berjalan untuk melewati arah saya di ikuti beberapa ajudannya, spontan saat berhadapan saya menyalami beliau dan tersenyum, beliau pun merespon balik dan tersenyum, lalu saya bertanya
“bu,sampai kapan koyok ngene?”
“ngene apane?
“iyo sampe kapan nasib Persebaya digantungno dan perjuangan konco-koncoku kudu koyok opo?”
“bu,sampai kapan koyok ngene?”
“ngene apane?
“iyo sampe kapan nasib Persebaya digantungno dan perjuangan konco-koncoku kudu koyok opo?”
Seketika wajah yang tersenyum berubah dengan raut muka yang seperti marah dengan mencoba menahan airmata. Ada ucapan yang membuat saya ikut mberebes mili ketika Bu Risma berkata seperti itu dengan luapan kekesalan dan airmatanya. “westalah awakmu karo konco-koncomu gak usah mikir Persebaya kyok opo, deloken manajemenmu, melok demo gak? melok gerak gawe memperjuangno persebaya ben siji tok?konco-koncomu sing dadi korban nang lamongan, loro sampe meninggal opo manajemen sing ngurus? opo manajemen sing tanggungjawab? iku aku kabeh sing ngurus dan manajemenmu gak mau tahu!” mendengar apa yang sebenarnya tidak kita ketahui, bahkan kita tidak akan mau tahu seperti apa Bu Risma karena merasa Bu Risma tidak peduli dengan Persebaya, tetapi mengenai hal ini, saya mempunyai pandangan lain dari sisi suporter, entah pandangan ini berlawanan dan kontra dari teman-teman bonek, entah karena sesama wanita, atau saya yang cengeng, saya rasa saat itu atau sampai saat ini mengakui Persebaya bukanlah hal yang gampang, dibalik kendali beliau banyak orang-orang besar yang sewaktu-waktu mampu membalikkan kepemimpinan beliau tanpa kita tahu siapa saja pihak tersebut. Terlepas dari polemik Persebaya, saya adalah satu diantara ribuan bahkan jutaan orang yang mengagumi gaya kepemimpinan beliau dan teman saya yang menjadi saksi obrolan singkat itu adalah salah satu Bonek juga bernama mas eko, jika apa yang saya katakan tentang obrolan singkat dengan Bu risma kurang di percaya pembaca.